Annual Report

Monday 15 July 2013

Siap kembali ke sekolah

By Nuraini Razak, UNICEF Indonesia

Yang paling diinginkan Dani, 11 tahun,
adalah kembali ke sekolah dan bermain
dengan teman-temannya.
© UNICEF Indonesia/2013/Rizal
Bener Meriah - Fitra Ramadhani, atau biasa dipanggil Dani oleh teman-temannya, adalah seorang anak berusia 11 tahun yang selalu tampak ceria. Hobi siswa kelas 6 SD ini adalah bermain sepak bola dengan teman-teman sekolahnya. Desa Cekal Baru tempat tinggal Dani terkena dampak gempa dengan cukup parah.

Ayah Dani adalah seorang petani kopi yang harus mengurus tiga anak dan tiga anggota keluarga lainnya. Belum lama ini keluarga mereka telah kehilangan nenek Dani, dan kini gempa menghantam mereka.

Di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, lebih dari 372 sekolah telah rusak parah. Dengan awal tahun ajaran baru di depan mata, para murid pun mulai bertanya-tanya cemas apakah mereka akan dapat kembali bersekolah.

Sekolah Dani yang lama dapat ditempuh dengan jalan kaki, tapi sekarang dia tidak tahu ke mana harus pergi. Sekolahnya telah hancur.

Sekarang ia menghabiskan hari-harinya di tenda pusat pembelajaran sementara UNICEF. Keinginannya sederhana, "Rumah kami sudah rusak, dan kadang-kadang aku masih kepikiran tentang gempa, tapi yang aku benar-benar ingin lakukan adalah kembali ke sekolah dan bermain dengan teman-teman," katanya.

Tuesday 9 July 2013

Pasca gempa di Aceh - Memberikan senyuman kepada anak-anak dengan belajar dan bermain

Yusniati bermain puzzle dengan anaknya,
Liana, di tenda pusat belajar UNICEF.
© UNICEF Indonesia / 2013 / Juanda
Bener Meriah, Indonesia, 9 Juli 2013 - "Rasanya seperti kiamat", ucapYusniati (25), seorang petani kopi dari Serempah, kecamatan Ketol, ketika mengingat apa yang terjadi pada tanggal 2 Juli kemarin saat sebuah gempa berkekuatan 6,2 Richter melanda daerah Bener Meriah dan Aceh Tengah. Gempa ini telah memakan 39 korban dan melukai lebih dari 2.400 orang. "Kami sedang di perkebunan, dan kami bisa merasakan tanah bergerak naik dan turun. Suaranya sangat keras," katanya.

Sekitar 50.000 orang dari 12.000 lebih rumah tangga di 70 lokasi telah mengungsi dari rumah mereka. Banyak juga keluarga yang rumahnya tidak hancur tetapi lebih memilih untuk menunggu di luar, takut akan gempa susulan. Sekitar sepertiga dari mereka yang terkena dampak adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.

"Setelah sekitar 5 menit getaran, saya lihat teman-teman dan tetangga berlarian. Ada juga beberapa orang yang sudah terperangkap dan menangis minta tolong. Banyak yang berdarah, tapi kami saling membantu dan akhirnya kami berhasil pindah ke area terbuka. Kami terkejut dan bingung, dan sampai sekarang pun masih," tambah Yusniati.

Sunday 7 July 2013

Rumah Honai Markus - Rintangan akses pendidikan di Provinsi Papua

Markus meninggalkan desa asalnya
pada usia 14 tahun demi bersekolah.
© UNICEF Indonesia / 2012 / Klaus
 Megapura, Provinsi Papua, Juli 2013 - Empat tahun telah berlalu sejak Markus bertemu orang tuanya, dan paling tidak setahun lagi sebelum ia bisa pulang ke desa Kalbok yang dapat ditempuh dengan 10 hari berjalan kaki melalui dataran tinggi Papua. Remaja berusia 18 tahun yang duduk di bangku kelas 3 SMA ini pun sadar bahwa ia takkan pernah mengenyam bangku sekolah jika tidak meninggalkan desa asalnya.

Dalam kurun waktu itu, Markus tumbuh dengan pesat dan kini telah menjadi kepala suatu honai (gubuk tradisional) yang dijadikan rumah kos untuk 50 remaja dan orang muda di Megapura. Mereka semua bersekolah di tingkat SMA atau institusi kejuruan di kota Wamena.

"Kabupaten-kabupaten di dataran tinggi Papua memiliki indikator anak terburuk dari seluruh negara," jelas Margaret Sheehan, Kepala Kantor Lapangan UNICEF di Papua dan Papua Barat. Lebih dari 120 dari setiap 1.000 anak meninggal sebelum melewati usia lima tahun, atau lebih dari tiga kali rata-rata nasional. Hanya sepertiga penduduk memiliki akses terhadap air bersih dan kurang dari seperempat memiliki akses jamban.

Tuesday 2 July 2013

Bagaimana seorang relawan mencegah kekerasan terhadap anak di sekolah di Jawa Tengah

Erry dalam salah satu sesi diskusi grup
tentang pencegahan kekerasan.
© UNICEF Indonesia/2012.
Mencegah kekerasan di sekolah tidaklah mudah dan membutuhkan visi yang kuat, pengetahuan khusus, serta pengalaman dan kesabaran. UNICEF tidak dapat melakukan hal ini sendirian, dan karena itu bekerja dengan pemerintah dan mitra-mitra lainnya. Selain itu, para relawan juga memainkan peran yang sangat besar.

Salah satu contoh terbaik adalah kegiatan yang dilakukan Erry Pratama Putra, seorang pria berusia 37 tahun dari Klaten, Jawa Tengah. Ia pertama kali terlibat dengan UNICEF enam tahun yang lalu, ketika menjadi relawan tanggap darurat pasca gempa di Yogyakarta dan Klaten.

"Memastikan anak-anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, baik di rumah, sekolah atau masyarakat adalah tanggung jawab kita semua. Saya hanya bisa menawarkan jiwa, hati, pikiran, semangat dan idealisme untuk menciptakan dunia yang layak bagi anak-anak - karena masa depan mereka telah dipercayakan kepada kita."