Annual Report

Monday 15 December 2014

Selamat dari tsunami, menciptakan masa depan lebih baik

Hamil 17 minggu dan membawa putrinya yang baru berusia tiga tahun pada waktu itu, Rosna merasa keselamatannya adalah berkat program TV tentang tsunami yang memberinya pengetahuan tentang apa yang akan terjadi setelah gempa besar. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

JANTHO, Indonesia, Oktober 2014 - Rosna terselamatkan dari tsunami oleh televisi. Berkat acara TV tentang gempa bumi, gunung berapi dan aktivitas seismik bumi yang ia telah saksikan sebelumnya, ketika gempa bumi mengguncang pada 26 Desember 2004, yang menyebabkan tsunami di Samudra India, dia menyadari apa yang akan terjadi.

Dalam kehamilan yang berusia 17 minggu dan sambil menggendong putrinya Cut Rachmina, yang saat itu berusia tiga tahun, Rosna berlari meninggalkan rumahnya di Banda Aceh. Meskipun beberapa kali dihempas oleh air, dia berhasil mencapai daerah yang lebih tinggi tanpa cidera atau luka-luka dan akhirnya bisa dipersatukan kembali dengan suaminya Johansyah, yang juga selamat dari terjangan ombak raksasa.

Bencana itu telah menghabisi sebagian besar Banda Aceh, dan keluarga Rosna termasuk yang beruntung bisa selamat. Namun rumah mereka habis ditelan ombak. Mereka tak memiliki air minum, makanan, dan seluruh harta benda mereka dirusakkan oleh bencana tersebut. Dalam waktu beberapa jam, status mereka berubah dari pemilik rumah menjadi pengungsi. Tenda pengungsian menjadi rumah mereka.

++++

Sepuluh tahun terlalu berlalu sejak peristiwa tragis tersebut. Suatu Jumat pagi, di kebun rumahnya, Rosnas sedang dikelilingi sekelompok anak-anak pra-sekolah yang menyanyikan lagu-lagu anak dan belajar menghitung sampai 10. Sebagian anak-anak lain bermain di ayunan dan perosotan di halaman.

Di kawasan perumahan yang dibangun untuk para korban tsunami oleh International Organization for Migration (IOM) ini, Rosna telah mendirikan pusat Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) dengan bantuan UNICEF.

Cut Rachmina putrinya sekarang telah berusia 12, dan Arif yang lahir 5 bulan setelah tsunami sekarang 9 tahun. Keduanya sedang berada di sekolah saat itu, sementara yang terkecil, Akbar, baru berusia satu tahun, dan sedang duduk di pangkuan ibunya.

“Setelah tsunami, saya ingin melakukan sesuatu untuk keluarga-keluarga yang trauma, terutama anak-anak,” ujar Rosna. “Adalah kebahagian bagi saya untuk melihat anak-anak ini bermain di sini setiap hari.”

Rosna memimpin senam bersama murid-muridnya di PAUD Jantho. Dia mendirikan pusat PAUD ini pada tahun 2006 dengan dukungan UNICEF. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Banyak yang ia harus lalui sebelum sampai ke posisi ini. Keluarga Rosna awalnya tinggal di barak pengungsi di Banda Aceh, saat kota itu terus diguncang gempa susulan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah tsunami.

Pada tahun 2005, setelah Arief lahir, Rosni sekeluarga pindah ke barak pengungsian lainnya di Jantho, kota kecil di pegunungan sekitar satu jam naik mobil dari Banda Aceh.

Cut Rachmina dan Arief mengikuti pusat anak yang didirikan oleh UNICEF di tempat pengungsian tersebut. Mereka diperkenalkan dengan permainan-permainan menarik dan didukung untuk menggambar dan melukis untuk bisa menyembuhkan trauma tsunami mereka.

UNICEF mendirikan 21 pusat penampungan anak di seluruh Aceh setelah tsunami untuk memberikan dukungan segera bagi mereka yang terdampak oleh bencana tersebut.

Selain bantuan pendidikan dan psikososial yang diterima oleh anak-anak Rosna, pusat anak juga mendaftarkan 2.000 lebih anak-anak yang terpisah oleh keluarga mereka untuk membantu mempersatukan kembali mereka dengan keluarga mereka yang tersisa.

Bersama Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan tingkat provinsi, serta Muhammadiyah, organisasi Islam kedua terbesar di Indonesa, pusat anak ini melacak keberadaan anggota keluarga anak-anak tersebut, dan meluncurkan kampanye untuk mempromosikan kesadaran publik terhadap isu hak-hak anak. Para pekerja di pusat anak membantu melindungi anak-anak yang paling rentan perdagangan anak dan terpaparkan terhadap kekerasan.

Enam dari pusat anak-anak ini masih berfungsi sampai saat ini sebagai bagian dari layanan kesejahteraan sosial pemerintah. 

Pasca bencana, UNICEF mendirikan 21 pusat anak di Aceh untuk memberikan bantuan langsung bagi mereka yang terkena dampak bencana. Pusat-pusat ini juga mendaftarkan lebih dari 2.000 anak tanpa pendamping, untuk membantu menyatukan mereka kembali dengan anggota keluarga yang hilang. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Setelah setahun tinggal di dalam tenda di pusat pengungsian, Rosna dan keluarganya ditawarkan untuk tinggal di perumahan yang didirikan oleh IOM. Mereka ingin meninggalkan kehidupan di tenda dan kembali ke kehidupan normal di rumah. Namun Rosna telah menyaksikan sendiri bagaimana pentingnya peran pusat anak dalam pendidikan dini kedua anaknya. Dia memutuskan untuk mendirikan pusat Pengembangan Anak Usa Dini di rumah barunya.

UNICEF menyediakan peralatan dan uang tunjangan untuk para relawan agar Rosna dapat mendirikan PAUD di rumahnya sendiri pada tahun 2006. Saat ini pusatnya memperkerjakan lima asisten untuk 33 anak-anak usia dua sampai enam tahun.

“Jika tidak ada fasilitas ini, para ibu-ibu ini harus membawa anak-anak mereka ke sawah atau ke pasar untuk bekerja,” ujar Rosna.

“If this facility weren’t here, mothers would take their children to the rice paddies or the market where they work,” says Rosna.

Setelah tsunami UNICEF mendukung pendirian pusat pengembangan anak usia dini dan program pelatihan untuk kader-kader atau relawan di beberapa kabupaten di Aceh. Sejak intervensi ini angka pendaftaran program PAUD meningkat menjadi 42 persen pada tahun 2013 di Aceh, dibandingkan rata-rata nasional sekitar 30 persen. 

Di pusat PAUD, anak-anak diperkenalkan dengan teka-teki dan permainan, serta diajak menggambar dan melukis untuk membantu mereka mengatasi trauma tsunami. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Setelah pembukaan pusat anak, Rosna mendapatkan kualifikasi formal dengan mendapatkan ijazah pendidikan di Banda Aceh. Setiap hari dia pulang-pergi naik motor sejauh 100 kilometer, bahkan ketika sedang mengandung anaknya yang paling kecil, sebelum akhirnya lulus pada tahun 2013.

Rosna punya banyak rencana untuk mengembangkan PAUDnya. Selagi anak-anak bermain dengan gembira di halaman atau di salah satu dari dua ruang kelas, pekerja bangunan mendorong gerobak berisi semen di samping bangunan sekolah. Mereka sedang membangun jamban agar anak-anak dapat memiliki sanitasi yang lebih baik dan fasilitas mencuci anak.

Rosna juga berharap dapat membangun sebuah perpustakaan di tempatnya.

“Saya ingin bekerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya,” ujarnya.