Annual Report

Thursday 28 May 2015

Kisah tiga saudari dari Rohingya: Meninggalkan Kampung Halaman Demi Masa Depan Yang Lebih Baik

Oleh Kinanti Pinta Karana 

Dari kiri ke kanan: Seemal*, 13; Alma*, 14 dan Mira*, 15. Ketiga saudari dari etnis Rohingya Myanmar ini dikirim oleh orang tua mereka dengan kapal untuk menyelamatkan mereka dari pemerkosaan dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya di negara asal mereka. Mereka saat ini tinggal di penampungan sementara di Kuala Langsa, Aceh Timur. (© UNICEF Indonesia / 2015 / Kinanti Pinta Karana)

Langsa, INDONESIA, 25 Mei 2015 – Hari mulai beranjak siang ketika saya akhirnya tiba di area pelabuhan Kuala Langsa, Aceh, yang menjadi penampungan sementara bagi pengungsi dan migran dari Myanmar serta Bangladesh. Dalam periode antara tanggal 10 hingga 20 Mei, sebanyak 1,829 orang berlabuh di pesisir Aceh dan Sumatera Utara. Di antara mereka terdapat 599 anak-anak, termasuk 345 orang anak yang tidak didampingi orang tua.

Mereka menempuh perjalanan yang berat dari Negara masing-masing,  sebagian diantaranya melarikan diri dari tekanan dan ketidakadilan, sedangkan sebagian lain karena ingin bangkit dari kemiskinan. Banyak dari mereka yang hingga saat ini masih terombang-ambing di laut.

Ketika saya melangkah masuk ke barak perempuan dan anak-anak, saya melihat tiga orang gadis remaja duduk berdekatan di salah satu sudut ruangan. Saya tersenyum pada mereka dan mereka dengan malu-malu  membalas senyuman saya. Belakangan baru saya menyadari betapa luar biasanya senyum itu, jika mengingat perjalanan berat yang harus mereka tempuh di laut.

“Nama saya Mira*, umur saya 15 tahun. Ini adik saya Alma* yang berusia 14 dan Seemal*. Dia 13 tahun,” kata gadis yang tertua.

Wednesday 20 May 2015

Peraturan Baru, Harapan Besar: Peradilan Pidana Anak di Makassar

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Akmal berada di sekolah, bukan di sel penjara Makassar ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Akmal* yang berusia 14 tahun duduk di koridor kantor pemerintah yang besar di Makassar. Dia tampak gugup – memainkan ritsleting ranselnya, terus-menerus membenarkan seragam sekolahnya. Ini bisa dimengerti mengingat lingkungan di sekitarnya. “Aku baik-baik saja,” katanya lirih. “Ini lebih baik daripada penjara.”

Beberapa bulan yang lalu, Akmal sedang berjalan-jalan dengan seorang temannya. Temannya memutuskan untuk membuktikan keberaniannya dengan mencuri tabung gas dari toko terdekat. Ternyata yang terjadi tidak berjalan sesuai rencana dan kedua anak ini ditangkap oleh polisi.

Sebuah hukuman penjara untuk kejahatan kecil sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Meskipun Akmal tidak terlibat langsung dalam pencurian tabung gas tersebut, tahanan di penjara adalah hal yang biasanya harus dijalani. Namun begitu, berkat hukum sistem peradilan pidana anak baru yang mulai berlaku sejak Agustus 2014, kisah Akmal dapat menjadi sangat berbeda.

Monday 18 May 2015

Dampak positif konseling psikososial UNICEF melalui radio di Nepal


Chiranjibi Adhikari bersama anaknya, Kritagya (6) di salah satu tenda medis UNICEF. Mereka sedang berbicara dengan seorang konselor psikososial melalui program radio Bhandai Sundai yang didukung oleh UNICEF. ©UNICEF/2015/Panday.

Dhadingbesi, Nepal – Chiranjibi Adhikari belum pernah melihat Kritagya, anaknya yang berusia 6 tahun, begitu gelisah.

"Dia selalu mencari perhatian," kata sang ayah berusia 45 tahun ini. "Sebelumnya dia tidak seperti ini."

Menurutnya, Kritagya telah mengalami trauma sejak gempa dengan skala 7,8 Richter melanda Nepal pada tanggal 25 April 2015.

"Saya tidak tahu bagaimana mengontrol anak saya," kata Chiranjibi. "Dia sangat mudah panik dan saya tidak bisa menenangkannya.”

Friday 15 May 2015

Kisah Sulaeha: Menyelamatkan nyawa di Sumenep

Sulaeha adalah seorang ibu dari tiga anak yang berasal dari Sumenep, Jawa Timur. Sejak dulu, Ia selalu peduli akan kesejahteraan keluarga dan warga di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, Sulaeha memutuskan untuk menjadi relawan di bidang kesehatan.

“Hanya karena saya bukan petugas kesehatan yang terlatih, bukan berarti saya tidak bisa membantu memperbaiki kesehatan anak-anak di lingkungan saya,” kata Sulaeha. “Paling tidak saya bisa bantu menyambungkan fakta-fakta kesehatan penting dengan ajaran agama.”

Sulaeha adalah anak dari seorang tokoh agama yang dihormati dan anggota aktif Fatayat, sub-unit perempuan dari Nadhlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di dunia dengan sekitar 80 juta anggota. Oleh karena itu, ia memiliki pengetahuan yang luas mengenai agama Islam.


Sulaeha sering mengadakan lokakarya kesehatan di masjid dekat rumahnya. ©UNICEF Indonesia/2015

Peran Sulaeha sebagai relawan adalah untuk meyakinkan orang tua bahwa imunisasi bukan hanya penting bagi anak mereka, tapi juga sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal ini sangat penting di daerah-daerah seperti Sumenep, di mana mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Islam.

Tuesday 12 May 2015

Mengintip program UNICEF di Ternate & Tidore

Winda - UNICEF Indonesia Fundraiser

Ternate, kota yang terletak di ujung barat Sulawesi ini memiliki berbagai macam hal yang dapat membuat kita berdecak kagum, baik dari keindahan alamnya, makanan khasnya, penduduknya dan masih banyak hal lainnya yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kota Ternate adalah sebuah kota kecil yang berada di bawah kaki gunung api Gamalama di Provinsi Maluku Utara, memiliki luas sekitar 547.736 Km2 kota Ternate sudah menjadi kota otonom semenjak 4 Agustus 2010 sedangkan  Kota Tidore memiliki luas wilayah 9.564,7 km² dan berpenduduk sebanyak 98.025 jiwa.

Dibalik keindahan alam dan kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa, kota ini menyimpan sebuah masalah pelik yang sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Salah satu masalah yang cukup serius dari kota Ternate & Tidore adalah masalah kesehatan, kurangnya pengetahuan umum mengenai pentingnya kesehatan dan kurangnya sarana dan prasarana yang memadai menjadi sumber masalah yang terjadi di kota ini. Oleh karena itu UNICEF dan pemerintah setempat bekerja sama untuk mengatasi masalah ini dengan bersama-sama membangun Puskesmas-Puskesmas yang didanai oleh UNICEF dibantu oleh pemerintah setempat.



Pada tanggal 18 – 20 Maret lalu kami perwakilan dari UNICEF berkesempatan untuk mengunjungi beberapa Puskesmas yang dibangun UNICEF bersama pemerintah setempat. Puskesmas pertama yang kami kunjungi adalah Puskesmas Rawat Jalan Rum Balibunga (Tidore) yang didirikan pada tanggal 20 Januari 2014. Menurut data yang kami kumpulkan di Puskesmas ini umur pernikahan yang sering terjadi di Tidore adalah pada umur 15 -18 tahun, selama tahun 2014 lalu ada 18 kasus ibu muda, yang semestinya 1 : 1000 pada tempat dengan 8.000 penduduk hanya ada 8 kasus ibu muda.