Annual Report

Wednesday 10 June 2015

Pendidikan Anak Usia Dini: Peluang yang adil bagi semua

Sun Wook Jung, Education Officer

Bersama para guru Pos PAUD Puspa Hati, Surabaya. ©UNICEF Indonesia/2015.

Saya adalah seorang 'drop-out' dari TK saya di Korea beberapa tahun yang lalu. Saya sering berkelahi dengan murid-murid laki-laki hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah. Tetapi prestasi sekolah saya cukup bagus, sehingga saya jadi meremehkan manfaat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Namun, saya sadar sekarang bahwa saya sangat beruntung memiliki seorang ibu yang sering membacakan buku dan mengajari saya bagaimana cara menghitung. Jadi, meskipun saya keluar dari TK, saya tetap mendapatkan pendidikan anak usia dini di rumah. Hal ini belum tentu terjadi bagi banyak anak-anak di seluruh dunia, terutama mereka yang berasal dari keluarga marginal dan miskin di Indonesia.

Tuesday 9 June 2015

Remaja Indonesia bersiap menghadapi bencana (dengan cara yang kreatif)

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Siswa SMP pada Lokakarya uji coba Paket untuk Remaja Berekspresi dan Berinovasi. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker. 

Sebuah ruang kelas di daerah Jakarta Timur riuh dengan kegiatan. Sekitar 20 remaja merangkai berbagai kata, bentuk dan pola pada secarik kertas putih berukuran besar. Suasananya begitu hidup, namun topiknya tidak main-main: banjir dahsyat yang akan datang.

 Jakarta terkenal karena banjir musimannya yang parah. Dan wilayah di bagian timur Jakarta sering menanggung beban ini setiap musim hujan. Sebagian besar remaja yang mengikuti lokakarya ini memilki koleksi cerita yang memilukan tentang banjir. Beberapa bahkan memiliki pengalaman yang nyaris merenggut nyawa mereka.

“Saya mengalami banjir yang sangat parah pada tahun 2007,” cerita Vicka, peserta yang berusia 14 tahun, “Waktu itu sekitar pukul dua pagi ketika banjir datang. Sebentar saja air sudah mencapai langit-langit rumah. Suasana gelap gulita dan seluruh keluarga saya sangat ketakutan.”

“Ayah saya menenangkan kami semua dan membawa kami ke atap rumah untuk mencari pertolongan. Akhirnya perahu penyelamat datang. Kami harus lompat ke perahu dari atap rumah. Saya sangat takut, namun beruntung kami semua baik-baik saja. Bagian yang paling mencemaskan adalah ibu saya sedang mengandung pada saat itu. Akhirnya dia melahirkan adik perempuan saya keesokan harinya.”

Paket Remaja untuk Berekspresi dan Berinovasi sedang diujicobakan di Indonesia dan di Sudan Selatan. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Thursday 4 June 2015

Hari ini pelajar, esok pengantin

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer


Anak-anak perempuan di Desa Manggaru* beresiko menikah pada usia muda. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Nira* yang baru berusia 14 tahun adalah pelajar yang cemerlang. Ia selalu rajin belajar dan unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Besok adalah hari pernikahannya.

Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berada sekitar 70 km dari Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari bangku sekolah dan menikah tahun ini.

“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Ia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.

Monday 1 June 2015

Kisah Safira dan Ali: Dua anak tanpa orang tua yang saling menjaga

Oleh: Kinanti Pinta Karana

Safira, 8, di penampungan sementara pengungsi Rohingya Myanmar di Kuala Cangkoy, Aceh Utara. Ia adalah satu dari 345 anak-anak tanpa pendampingan orang tua yang ikut dalam rombongan pengungsi yang tiba di Aceh pada 10 Mei 2015. ©UNICEFIndonesia/2015/Kinanti Pinta Karana. 

Kuala Cangkoy, Provinsi Aceh - Hamparan lapangan yang ditumbuhi rumput kering menyambut saya di pelabuhan ikan di Kuala Cangkoy, dimana 576 orang pengungsi Rohingya Myanmar ditampung untuk sementara setelah diselamatkan dari sebuah kapal yang juga membawa kelompok migran dari Bangladesh di perairan Aceh pada 10 Mei. Selain tenda dan beberapa bangunan berukuran sedang, sekelompok sapi tampak sedang merumput dan beberapa di antaranya mengais tumpukan sampah berusaha mencari sesuatu untuk dimakan.

Saya menuju sebuah pendopo yang dialihfungsikan menjadi ruang tidur untuk pengungsi pria, saya harus berjalan dengan hati-hati agar tidak menginjak kotoran sapi. Pendopo itu sepi karena para penghuninya sedang mempersiapkan ibadah shalat Jumat. Lalu saya mendengar suara tawa anak-anak. Saya berputar dan melihat seorang anak perempuan sedang meletakkan biskuit di wajah anak lelaki yang tertidur di sampingnya.

Anak perempuan itu bernama Safira (nama-nama dalam cerita ini telah diubah). Dia berumur delapan tahun dan berada jauh dari kehidupan yang selayaknya ia miliki. Anak lelaki itu adalah kakaknya, Ali. Usianya 10 tahun.