Annual Report

Thursday 8 December 2016

Kini, Sang Pengantin telah kembali menjadi Pelajar!

Oleh: Dinda Veska

Masih ingatkah dengan kisah dua orang anak dari Desa Kenanga* bernama Sari* dan Dewi*? Yang hidupnya berubah dramatis setelah menikah dan melahirkan anak dari laki-laki yang sama. Sari sempat menguangkapkan bahwa ia rindu kehidupan lamanya. "Saya lebih senang menjadi pelajar dari pada Ibu. Ketika saya masih sekolah, semuanya lebih baik."


Setelah ditinggalkan oleh Hazar – suaminya, Sari menyampaikan kembali keinginannya kepada sang Ibu. Keterbatasan biaya menjadi kendala utama untuk mengembalikan Sari ke sekolah. Ditambah lagi tidak mudah untuk mencari sekolah yang bersedia menerima Sari dengan kondisi sudah pernah menikah dan memiliki anak.

Wednesday 30 November 2016

Suara anak muda menginspirasi solusi di Ende

Oleh Kate Rose, Communication Specialist, UNICEF Indonesia

“Ayo, maju dan tunjukkan ide kalian” ucap Sulastri dengan senyum terkembang. Hujan turun dengan derasnya di luar tenda terpal biru, tapi itu tidak menyurutkan semangat sekitar 40 orang anak muda yang berkumpul dibawahnya. Begitu jugadengan anggota masyarakat lainnya yang mengelilingi kelompok yang penuh semangat itu, yang menonton pembukaan acara. Sindi maju dan menjelaskan kepada teman sebaya dan orangtuanya tentang rencana tangki air, usulan dari kelompoknya untuk membantu desa mereka.

Sindi mempresentasikan desain tangki air.
© UNICEF Indonesia / 2016
Sindi dan teman-temannya telah menjadi bagian dari Lingkaran Remaja di desa mereka selama beberapa bulan.  Ini adalah kelompok yang dijalankan oleh relawan fasilitator Sulastri dan merupakan kesempatan bagi semua anak untuk berkumpul, bersenang-senang, mempelajari hal baru dan terlibat dalam beragam cara. Salah satu aktivitasnya adalah kerja sama dengan UNICEF melalui mitra lokal Child Fund, yang berusaha melibatkan anak-anak untuk mencari solusi bagi masalah yang memengaruhi masyarakat mereka.

Indonesia adalah negara dengan keberagamannya, tempat bencana alam sering terjadi, mulai dari banjir lokal hingga gempa bumi yang menghancurkan segalanya. Di banyak wilayah, bencana alam terjadi dalam skala yang cukup kecil, dan seringkali sulit diduga kapan dan di mana terjadinya. UNICEF bekerja sama dengan Lingkaran Remaja, yang umumnya berada dalam Forum Anak Desa atau Kota, seperti kelompok Sulastri untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah-masalah yang memengaruhi anak-anak dan untuk mengembangkan ide-ide baru tentang apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Ada sejumlah forum anak di Ende, Pulau Flores, semuanya dijalankan oleh relawan muda seperti Sulastri, dan semuanya diundang hari ini untuk membagikan ide yang telah mereka kembangkan.

Sunday 20 November 2016

Sektor Minyak Kelapa Sawit dan Anak di Indonesia – Prinsip Dunia Usaha dan Hak Anak dalam Aksi

Oleh Michael Klaus, Chief of Communication and Public Advocacy, Indonesia



Jakarta, Indonesia, 20 November 2016 – Minyak sawit digunakan di hampir separuh dari semua barang-barang konsumsi, mulai dari sabun dan body lotion hingga makanan olahan dan biofuel. Dan karena kelapa sawit mudah untuk ditanam dan lebih murah pemrosesannya dibandingkan minyak nabati lainnya, permintaan global terhadap kelapa sawit terus meningkat. Perkembangan ini merupakan kabar baik bagi Indonesia dan Malaysia, yang memproduksi sekitar 85% minyak sawit global. Namun, booming minyak sawit, harus dibayar mahal oleh lingkungan. Dampak pembukaan lahan untuk penanaman perkebunan kelapa sawit termasuk deforestasi, kerusakan lahan gambut dan emisi gas rumah kaca karena untuk praktik tebang-dan-bakar  - telah banyak dikaji. Namun, dampak industri ini terhadap anak-anak tidak mendapat banyak perhatian, meskipun di Indonesia saja faktanya 5 juta anak terdampak oleh industri tersebut.

Untuk mengetahui lebih jauh, UNICEF melakukan penelitian - yang merupakan penelitian pertama - tentang besarnya dampak budidaya kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia terhadap anak-anak. Penelitian ini memberikan pemahaman tentang  kondisi kehidupan anak-anak di pusat-pusat produksi seperti di Sumatera dan Kalimantan, yang karena letaknya sangat terpencil, jarang mendapat banyak perhatian. Berdasarkan desk research yang komprehensif, wawancara dengan para pekerja (banyak di antaranya perempuan) anak-anak, guru, tenaga kesehatan dan perwakilan LSM, serta konsultasi dengan manajer-manajer perkebunan dan perwakilan pemerintah, penelitian tersebut mengidentifikasi tujuh area dampak utama dan sejumlah akar penyebab.

Tuesday 15 November 2016

Berinvestasi pada modal kapital anak-anak: Menumbuhkan daya pikir mampu menumbuhkan ekonomi di Asia Selatan dan Timur

Oleh Lauren Rumble, UNICEF Indonesia Deputy Representative

Satu miliar otak bergantung pada tindakan yang diambil pemerintah dan mitra saat ini.

Ilmuwan terbaik dunia baru-baru ini menegaskan bahwa investasi yang lebih besar dibutuhkan untuk mendukung ‘modal kapital’ anak-anak. Modal kapital merujuk pada keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi dalam pengembangan daya pikir anak-anak. Peraih Nobel Laureates James Heckman mengatakan bahwa investasi awal menghasilkan keuntungan yang lebih besar: satu dolar yang dihabiskan selama prenatal dan masa kanak-kanak menghasilkan lebih dari 7% hingga 10% dari investasi di usia yang lebih tua. Selama tahun-tahun pertama kehidupan, seribu sel-sel otak terhubung setiap detik. Koneksi ini menentukan kapasitas anak untuk mempelajari dan mengatur impuls dan emosi. Koneksi-koneksi ini mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Untuk memanfaatkan investasi ini kita perlu menjamin nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan juga keamanan serta keluarga yang penuh kasih sayang bagi semua anak. Jaminan ini memerlukan kepastian akan akses universal terhadap pendidikan, layanan kesehatan, sanitasi dan nutrisi serta bebas dari kemiskinan dan ketakutan untuk setiap anak.

Kebalikan dari kondisi ini juga benar. Kondisi yang merugikan berbahaya bagi perkembangan otak dan kinerja kognitif. Pengabaian kronis – seperti yang dialami oleh anak-anak dalam institusi perawatan – telah terbukti mengganggu komposisi otak. Hal ini menempatkan batas seumur hidup pada perkembangan keterampilan yang diperlukan untuk berhasil di sekolah dan masa dewasa.

Thursday 10 November 2016

Menjadi Ibu dan Ingin Kembali ke Sekolah

Oleh: Dinda Veska

Ani* anak perempuan yang telah menikah dan melahirkan seorang anak, ingin kembali ke sekolah juga demi sang anak.
©UNICEF Indonesia/2016/Mamuju.

Menikah karena dijodohkan adalah hal yang banyak dialami oleh anak-anak perempuan di Mamuju, Sulawesi Barat. Ada 687 Anak yang tidak sekolah karena menikah/mengurus rumah tangga di sana.

Salah satunya adalah Ani*, 17.

Setelah menikah pada usia 15 tahun dan melahirkan seorang anak, Ani bertengkar dengan suaminya dan memutuskan untuk bercerai. Menyadari pentingnya pendidikan untuk sang anak nanti, Ani pun ingin kembali ke sekolah dan melanjutkan pendidikannya hingga bisa menjadi seorang guru.

Motivasinya sangat sederhana, ia ingin anaknya kelak bisa belajar langsung mengenai banyak hal dari sang Ibu. "Kalau bukan saya yang ajarkan, saya takut anak saya jadi tidak baik," ungkap Ani.

Saat ini, Ani bersama orangtuanya tengah berusaha mengurus proses administrasi untuk kembali menjadi pelajar. Sambil menunggu waktu kembali duduk di sekolah, sehari-hari Ani bekerja sebagai pelayan toko di pasar.

Seperti yang kita semua ketahui juga, salah satu fokus UNICEF Indonesia adalah pendidikan anak. Untuk itu UNICEF, bekerja sama dengan Phillip Lighting Indonesia dan Pemerintah, melakukan sebuah program Gerakan Kembali ke Sekolah, sebagai bentuk upaya bagaimana anak-anak seperti Ani dapat kembali mendapatkan hak pendidikannya. UNICEF Indonesia juga bekerjasama dengan Komite Nasional untuk UNICEF Belanda dalam isu perkawinan usia anak.

Bila akhirnya bisa kembali ke sekolah, Ani sangat ingin kisahnya bisa menginspirasi banyak anak di Indonesia untuk berusaha kembali mendapatkan hak pendidikan. "Sekolah itu cara biar aku sukses kak," jelas Ani.

*Foto, nama anak perempuan, dan desa disamarkan untuk melindungi dan menghargai hak anak.

Monday 31 October 2016

Menggunakan setiap kesempatan untuk menemukan anak-anak yang sangat membutuhkan perawatan kesehatan

Marthen sembuh dari kekurangan gizi parah akut (sangat kurus). ©UNICEF Indonesia/2016/Ha’i Raga Lawa

Ketika seorang petugas kesehatan menemukan Marthen kecil terbaring di ruang gelap di rumah kakek dan neneknya, dia tahu Marthen sangat membutuhkan perawatan medis. Keadaan Marthen yang tidak berdaya, menyedihkan, dan sangat kurus , sangat membahayakan hidup dan kesehatan Marthen.

Marthen saat itu sedang dirawat oleh neneknya di Desa Poto di Indonesia timur. Ibunya baru saja melahirkan bayi laki-laki lagi, dan ayahnya sedang mencari uang untuk menghidupi dan merawat keluarganya.

Masalah kesehatan Marthen mulai muncul enam bulan yang lalu ketika dia baru saja berusia satu tahun. Dia terserang demam dan batuk di rumah orang tuanya. Karena kakek dan neneknya percaya bahwa penyebab penyakit Marthen adalah ilmu gaib, mereka memaksa kedua orang tua belia ini untuk mencari kelompok doa, bukan petugas kesehatan, untuk menyembuhkan Marthen.

Selama enam bulan berikutnya setelah mengunjungi beberapa kelompok doa yang berbeda, kondisi malah Marthen makin memburuk. Dia kehilangan selera makan dan berat badannya semakin menurun. Dia juga menjadi sangat lemah dan tak berdaya.

Sunday 23 October 2016

Pramuka Sebagai Agen Perubahan

Oleh: M. Ilham Akbar Junior

Pertemuan lima tahunan bagi Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega yang aktif di satuan Karya Pramuka Bakti Husada (Saka Bakti Husada) tingkat nasional akan digelar pada 17-23 Oktober 2016 bertempat di Bumi Perkemahan Serut, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Kegiatan dalam bentuk perkemahan bakti ini  disebut Perkemahan Bakti Satuan Karya Pramuka Bakti Husada Tingkat Nasional ke V (PERTINAS SBH 2016).

Pada kegiatan perkemahan ini UNICEF ikut andil dalam mendukung pelaksanaan kegiatan dalam beberapa segmen: pendirian booth informasi kerjasama, dukungan material peraga untuk pendalaman krida Bina Lingkungan Sehat dalam platform WASH dan pendalaman krida Bina Gizi Sehat dalam platform Adolescent Nutrition. Dimana seluruh kerjasama ini didasarkan oleh cita-cita pengabdian yang selaras antara Gerakan Pramuka dan UNICEF, diharapkan melalui kerjasama ini potensi kemanfaatan dari kedua organisasi tersebut dapat tercapai. Dengan tagline “Pramuka adalah sebagai agen perubahan” diharapkan setiap pribadi Pramuka bisa menjadi contoh yang bagus di masyarakat untuk turut mensukseskan program-program UNICEF yang memiliki pengaruh positif dan perubahan pada masyarakat.

PERTINAS SBH 2016 dibuka oleh Wakil Gurbernur Gus Ipul dan Bupati Blitar Bpk. Krijanto.

Pada hari pertama pelaksanaan PERTINAS SBH 2016, sejak pagi hari sudah terlihat aktivitas pada booth UNICEF, dari divisi Nutrition UNICEF melakukan kegiatan pre-test material dari modul nutrition dengan mengundang kakak-kakak Pramuka untuk berdiskusi mengenai materi yang terkandung dalam modul pelatihan gizi untuk pramuka yang direncanakan akan digunakan pada aktivitas follow up pasca Pertinas SBH 2016. Diskusi tersebut dilakukan dengan proses reading materi oleh Pramuka, lalu dari pihak Pramuka akan memberikan opini dari sudut pandang mereka masing masing. Dari diskusi tersebut didapatkan beberapa point yang bisa digunakan sebagai bahan improvement untuk materi Nutrition kedepannya.

Monday 19 September 2016

Memahami Peran UNICEF untuk Anak Indonesia

Oleh: Asriani Madjid

31 Mei 2016 dini hari, saya meninggalkan Jakarta bersama tim dan terbang menuju Bandara Juanda Surabaya. Dijemput oleh TIm UNICEF di sana, kami berkendara selama 5 jam menuju satu kota yang masih asing bagi saya, tetapi nama kota ini cukup terdengar familiar, Kabupaten Tulung Agung.

Tujuan utama kami adalah kantor Lembaga Perlindungan Anak di pusat kota Tulung Agung. Sebagai mitra dari UNICEF, kami dijelaskan dengan detail kegiatan apa saja yang sudah  dilakukan dalam upaya perlindungan anak.

Dimulai dari tahun 2000 hingga 2004, LPA mengadakan penelitian terhadap anak-anak yang dipekerjakan pada Industri Pembuatan Marmer. Kemudian LPA mulai melibatkan anak-anak dalam audiensi bersama para pengambil keputusan, sehingga mereka pun memahami dengan baik persoalan-persoalan anak. Dibuat agenda tersistem oleh anak yang disebut Forum Anak Desa atau biasa disebut sebagai Dewan Anak.

UNICEF sendiri mendukung kegiatan yang terfokus pada Pengasuhan bagi Anak terutama di panti yang 80% diantaranya masih memiliki orang tua untuk kepentingan sekolah.

Monday 25 July 2016

Perjalanan Ke Timur Indonesia: Menyalakan masa depan anak bersama UNICEF

Oleh: Dinda Veska


Mendapat kesempatan untuk mengunjungi Papua adalah hal yang sangat menyenangkan sekaligus menegangkan. Awalnya, saya pikir akan banyak cerita-cerita menyedihkan yang akan ditulis sepulangnya dari sana. Ingat betul, sehari sebelum keberangkatan seorang teman di kantor berkata “siap-siap sedih deh Din kalau ke sana.”

Perasaan campur aduk antara takut, senang, dan penasaran menggandrungi diri saya ketika mendarat di bandar udara Wamena. Kota yang namanya memiliki arti “Babi Jinak” ini cukup banyak didatangi pendatang, mulai dari pedagang makanan, pegawai hotel, hingga pelayan masyarakat mayoritas bukan suku asli Papua. Salah satunya adalah Dokter Filan yang menemani saya dan beberapa teman officer UNICEF lainnya pergi mengunjungi desa-desa di pedalaman Wamena.

Monday 11 July 2016

Tantangan dari Timur Indonesia

By Charlie Hartono, Philanthropy Officer UNICEF Indonesia 

Mengasah rasa tepa selira

Selalu ada cerita yang tak terduga dalam setiap perjalanan mengunjungi Indonesia Timur bersama UNICEF. Bertemu dengan orang baru, berkomunikasi dengan cara pandang yang seringan mungkin dan melakukan interaksi dengan masyarakat setempat dengan gaya bahasa yang sesederhana mungkin, merupakan tantangan yang luar biasa.

Lebih dari semua itu, kunjungan ke daerah yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta membuat saya lebih mensyukuri hidup, mengasah rasa tepa selira dan membuka cakrawala berfikir yang seringkali masih sempit mengenai arti hidup yang sesungguhnya, khususnya dunia anak-anak yang begitu indah.

Dari Ambon ke Saumlaki

Dalam perjalanan kali ini, Kepulauan Tanimbar / Maluku Tenggara Barat (MTB) adalah lokasi yang saya kunjungi. Jika dilihat dari peta, Kepulauan Tanimbar sendiri berlokasi tepat di atas Darwin, Australia atau boleh dikatakan letaknya juga di sebelah Tenggara bagian Barat Ambon – Kepulauan Maluku. Secara keseluruhan, ada 80 desa dan 1 kelurahan bernama Saumlaki dalam satu gugusan kepulauan MTB. Mata pencaharian utama dari penduduk di MTB adalah menjual kopra (bahan utama untuk sabun mandi), umbi-umbian (ubi dan singkong), sayur mayur (terong, cabe, tomat, dan bunga pepaya). Biasanya semua bahan ini akan dikirimkan ke pengepul yang akan menjualnya kembali ke Ambon, Surabaya dan Merauke.

Thursday 23 June 2016

Laporan baru menyoroti perspektif orang muda mengenai Mutilasi Genital Perempuan


Hampir separuh dari orang muda yang berusia antara 13 dan 24 tahun di  Indonesia menganggap bahwa mutilasi genital perempuan (FGM) harus dilarang, menurut sebuah jajak pendapat online yang dilakukan oleh UNICEF melalui platform media sosial U-Report.

Laporan menemukan bahwa 44 persen responden menganggap bahwa praktek tersebut harus dihentikan dan 22 persen menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia atau dapat  mengakibatkan konsekuensi kesehatan negatif. Lebih dari separuh responden (54 persen) menganggap bahwa FGM adalah suatu praktek keagamaan atau budaya.

“Kami menganggap bahwa temuan ini adalah indikasi penting bahwa anak-anak dan orang muda tertarik untuk membicarakan topik ini lebih lanjut dan sejumlah signifikan peserta mengharapkan bahwa para pelaku seperti kita semua membantu untuk mengakhiri praktek tersebut,” kata Lauren Rumble, Deputi Wakil UNICEF Indonesia. “Kami dapat menganggapnya sebagai panggilan untuk bertindak dari orang muda sendiri, bekerja sama dengan para tokoh agama dan budaya serta pelaku lainnya."

Lebih dari 3,000 tanggapan telah diterima dari orang yang sebagian besar tinggal di kota urban yang mengambil bagian dalam penelitian. Responden menjawab pertanyaan melalui platform polling @Ureport_ID berbasis Twitter dari UNICEF Indonesia.

Laporan tersebut merekomendasikan untuk meningkatkan jumlah informasi kepada orang muda beserta orang tua mengenai FGM, melakukan kampanye informasi publik mengenai praktek tersebut, serta melibatkan tokoh agama dan para pemimpin masyarakat maupun orang muda untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah ini.

Laporan media sosial mengikuti rilis pertama mengenai data yang meneliti FGM di Indonesia, yang menunjukkan bahwa sekitar setengah dari anak perempuan berusia 11 tahun dan lebih muda telah mengalami praktek tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengumpulkan data melalui suatu survei rumah tangga bersama UNICEF Indonesia, dalam kolaborasi dengan Kantor Pusat UNICEF di New York, telah merilis data tersebut dalam bulan Februari 2016 pada Hari International Nol Toleransi bagi FGM / C.

Untuk membaca laporan lengkap, klik di sini.

Monday 13 June 2016

Randi, Rendi, dan Ibu Ruth: Penyala Semangat dari Kupang

Oleh: Asrifakhru Rozi Batubara, UNICEF Fundraiser 

Menjadi seorang fundraiser untuk program  perbaikan gizi anak-anak Indonesia bukanlah hal yang mudah. Di satu sisi ada tanggung jawab dan komitmen yang digantungkan UNICEF kepada saya, di sisi lainnya menawarkan kepercayaan kepada para donatur di kota besar seperti Surabaya juga menjadi tantangan yang luar biasa. Ada beban besar yang hampir setiap hari saya rasakan.

Tetapi kemudian, beban itu menyala menjadi api semangat di 18 Februari kemarin. Ketika saya berkesempatan melihat secara langsung program perbaikan gizi buruk yang diinisiasi oleh UNICEF, tepatnya di wilayah kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Di Desa Obelo saya bertemu dengan seorang Ibu bernama Ruth Kiki. Sudah enam bulan lamanya beliau mendedikasikan diri untuk menjadi relawan di Posyandu Kesra. Tugas Ibu Ruth mungkin mudah untuk dilakukan, mulai dari menimbang berat badan dan lingkar lengan balita, kemudian konseling. Semua itu dilakukan setiap bulan untuk memastikan semua balita di lingkungan tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana yang seharusnya.

Tetapi ada hal lain yang saya pelajari dari Ibu Ruth. Motivasinya yang sangat tinggi demi membantu sekitar cukup untuk menggetarkan hati seorang pemuda kota seperti saya. Inilah yang beliau katakan: “Saya prihatin dengan kondisi balita disini,karena kurangnya pemahaman ibu mereka tentang bagaimana merawat anak dengan baik. Saya ingin sekali melihat balita disini sehat, ceria dan memiliki masa depan yang lebih baik”.

Thursday 2 June 2016

Melindungi anak melalui pencatatan kelahiran

Oleh Kristi Eaton, Petugas Manajemen Komunikasi dan Pengetahuan UNICEF Indonesia

Siti Mariyam, Kepala Kantor Catatan Sipil di Pasuruan (kiri), membacakan isi akta kelahiran kepada Rahadi Joko Suparno dan Riya Ulfa Radila yang baru saja menjadi orang tua. ©UNICEF / 2016 / Kristi Eaton

Sepasang suami istri duduk tenang di pos kesehatan, tersenyum lebar pada bayi mereka yang baru lahir, hanya enam hari yang lalu. Beberapa menit kemudian, mereka menerima surat akta kelahiran si kecil Raka Maliki dan senyum mereka bertambah lebar.

"Ini adalah dokumen legal." ucap sang ayah, Rahardi Joko Suparno. "Benar. Surat ini menyatakan bahwa ia adalah anak saya. Sekarang dia bisa bersekolah dan memiliki masa depan."

Akta kelahiran adalah hak asasi manusia yang mendasar dan diperlukan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, tunjangan kesehatan dan lain-lain. Akta ini juga melindungi anak agar tidak menjadi korban penjualan manusia. Tapi banyak orang di Indonesia tidak mengerti atau mengetahui cara-cara untuk mencatatkan kelahiran anak mereka dan mendapatkan akta kelahiran. Itulah sebabnya UNICEF menawarkan dukungan teknis pada pemerintah lokal untuk meningkatkan jangkauan layanan pencatatan kelahiran dan membangun layanan daring di rumah sakit bersalin, pos-pos kesehatan masyarakat dan kantor-kantor pedesaan.

Thursday 26 May 2016

Menemukan inspirasi di lapangan

Oleh Gabé Hirschowitz, Next Generation UNICEF di Los Angeles


Saat meminum air botolan dan menuliskan blog post ini, saya langsung teringat pada anak-anak yang saya temui di Kupang yang berjalan dua kali sehari selama dua jam (sekali di pagi hari sebelum berangkat sekolah, dan sekali di sore hari sepulang sekolah) untuk mengambil air bersih untuk keluarga mereka.

Empat jam setiap harinya. Bagaimana ini terjadi? Bagaimana mungkin ini adil?  Mengapa air minum yang bersih dan aman tidak tersedia untuk anak-anak dan keluarga di seluruh dunia?

Ini hanya beberapa dari banyak hal yang berlarian di pikiran saat saya tersentak memikirkan tentang krisis air dunia yang dihadapi oleh banyak individu di kehidupan sehari-hari. Setiap orang berhak atas air bersih. Sungguh mengejutkan bahwa masih banyak yang tidak mendapatkannya di tahun 2016.

Wednesday 25 May 2016

'Ini adalah perjalanan sekali seumur hidup'

Oleh Kelly Wilson, Ketua, Next Generation UNICEF di Los Angeles


Saya belum pernah pergi ke tempat seperti ini; suatu negara dengan dua dunia yang benar-benar berbeda, dan dua dunia itu tumpang tindih satu di atas yang lainnya, bertabrakan antar ruang dan berebut sumber daya, waktu dan perhatian. Indonesia menghadapi tantangan-tantangan sebagai negara dengan pertumbuhan kota yang cepat dan di saat yang sama masih mencoba memecahkan masalah-masalah terkait negara dunia-ketiga. Yang mengejutkan, tampaknya tidak ada pemisah fisik antara si sangat kaya dan si miskin; daerah kumuh di samping gedung mewah, bangunan terbengkalai di samping pencakar langit yang mentereng, buang air besar di depan monumen pemerintah. Indonesia memiliki PDB ke-16 terbesar di dunia dan negara ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara, namun gelombang itu tidak mengangkat semua perahu, dan Indonesia melempar semua itu tepat ke muka Anda.

Di hari pertama, kami mengunjungi daerah kumuh yang dibangun di atas Tempat Pembuangan Akhir. Tidak ada yang dapat membuat Anda siap menghadapi kebas yang Anda rasakan karena melihat banyak sekali rumah-rumah keluarga dikelilingi oleh sampah, remaja-remaja tanpa sepatu mengetik pada telepon seluler terbaru dan anak-anak kecil menggaruk-garuk kepala karena kutu rambut. Dan saat kau pikir otakmu sudah terlalu penuh, seorang anak berlari ke arahmu dan mencium tanganmu. Berada di antara reruntuhan bangunan dan tumpukan sampah, dia tersenyum. Dia bersama keluarganya, dan dia bahagia. Dengan manis saya teringat pada rasa kemanusiaan yang teguh dari anak-anak dan mengapa mereka berhak menerima tidak kurang dari perlindungan dan dukungan kita, tidak peduli betapa rumit penyelesaiannya.

Monday 23 May 2016

Mengalami langsung kegiatan UNICEF Indonesia

Oleh Casey Rotter, Pendiri Next Generation UNICEF


Untuk saya, melakukan perjalanan dengan UNICEF Indonesia adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Tidak hanya luar biasa untuk dapat melihat langsung pekerjaan hebat yang dilakukan UNICEF dan bertemu dengan keluarga-keluarga yang kehidupannya telah diubah -- bahkan diselamatkan -- terima kasih pada organisasi yang hebat ini, tapi hal ini juga istimewa untuk saya sebagai anggota staf untuk menyaksikan anggota-anggota NextGen kami mengalami langsung kegiatan UNICEF untuk pertama kalinya. Melihat pendonor benar-benar menyerap sifat dan kedalaman kegiatan UNICEF dengan berada di lapangan adalah istimewa adanya.  Setelah bertahun-tahun terlibat dalam organisasi, anggota-anggota NextGen yang berdedikasi ini akhirnya dapat memberikan wajah dan nama mereka pada staf yang mereka dukung dan anak-anak yang hidupnya telah diubah oleh usaha pengumpulan dana dan dana pribadi mereka.

Inilah maksud utama kunjungan lapangan para pendonor ini. Tidak peduli seberapa banyak yang kau pikir kau tahu tentang UNICEF, tidak ada yang lebih baik dari bertemu dengan staf yang bekerja di lapangan setiap harinya, menghabiskan hari dengan rekanan pemerintah dan benar-benar memperoleh pemahaman tentang betapa mereka mempercayai dan menghargai kata-kata dan kemitraan UNICEF, mendengarkan advokasi remaja tentang hak-hak rekan-rekannya, dan melihat ke dalam mata seorang ibu saat ia berkata bahwa jika bukan karena dukungan UNICEF untuk Posyandunya, bayi yang tersenyum di gendongannya tidak akan ada di sini hari ini.

Melihat sang ibu menahan air matanya adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kami lupakan, dan adalah sesuatu yang menggerakkan kami agar bekerja lebih baik lagi untuk UNICEF. Untuk semua pengalaman ini, kami selamanya berterima kasih. Jadi, TERIMA KASIH untuk UNICEF Indonesia, rekan UNICEF di negara ini, semua sukarelawan luar biasa yang kami temui dan seluruh keluarga NextGen yang mendukung kegiatan luar biasa ini.

***

Baru-baru ini, sejumlah anggota Next Generation dari Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia untuk melihat lebih dekat bagaimana dana yang mereka bantu kumpulkan untuk Laboratorium Inovasi UNICEF Indonesia membuat perubahan yang berkelanjutan. Berikut ini adalah catatan tentang kegiatan mereka di Indonesia: Part 1, Part 2, Part 3

Friday 20 May 2016

Mengapa UNICEF?

Oleh Leila Ladjevardian, Next Generation di New York 


Next Generation UNICEF adalah suatu kelompok luar biasa yang terdiri dari kaum profesional muda dengan kesempatan yang unik untuk menyumbangkan waktu, dana dan tenaga mereka untuk membantu anak-anak paling rentan di dunia. Saya telah bergabung dengan NextGen selama hampir lima tahun sekarang, dan saat ini saya bertugas sebagai Wakil Ketua New York Steering Committee.

Saya mendedikasikan banyak waktu luang saya untuk tujuan-tujuan dan langkah-langkah melalui penyelenggaraan penggalangan dana, berkontribusi dalam program kegiatan-kegiatan dan merekrut anggota baru. Satu pertanyaan yang sering ditanyakan pada saya adalah, "Mengapa UNICEF?"

Di masa lalu, jawaban saya adalah: "UNICEF adalah organisasi internasional yang menempatkan anak-anak di urutan pertama.  Tidak peduli tentang politik, tidak peduli seberapa mengerikan situasinya -- UNICEF bekerja dengan pemerintahan lokal untuk memastikan anak-anak diperhatikan. Saya adalah generasi pertama orang Iran-Amerika dan menghargai keanggotaan internasional organisasi ini. Sebagai tambahan, ibu saya telah sangat terlibat dalam UNICEF selama bertahun-tahun, yang membuat saya dapat membangun hubungan dengan organisasi ini sejak usia dini."

Thursday 19 May 2016

Bagaimana cara menginspirasi perubahan?

Oleh Bonner Campbell, Next Generation di Los Angeles 

Baru-baru ini, sejumlah anggota Next Generation dari Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia untuk melihat lebih dekat bagaimana dana yang mereka bantu kumpulkan untuk Laboratorium Inovasi UNICEF Indonesia membuat perubahan yang berkelanjutan. Berikut ini adalah laporan orang-pertama tentang kegiatan mereka di Indonesia. 


Hal pertama yang menyentak saya saat mendarat adalah panasnya. Bahkan di malam hari, Jakarta adalah kota yang gerah dengan suhu 80°F (27 derajat Celsius). Saya di sini selama satu minggu dengan anggota NextGen lainnya untuk melakukan kunjungan lapangan untuk program-program kegiatan UNICEF. Indonesia adalah negara pertama tempat diadakannya dua lab inovasi terpisah dari UNICEF: satu di Jakarta, ibu kota negara yang sangat sibuk, dan satu di Kupang, sebuah kota di pulau Timor.

Aku terbujuk oleh konsep sebuah "lab inovasi". Lab-lab inovasi di Indonesia berfokus pada keterlibatan remaja dan pemuda dan juga tanggap darurat. Lab-lab ini melibatkan siswa-siswa dari Global Design for UNICEF Challenge dan mengeksplorasi beragam isu seperti pencatatan kelahiran dan tanggap bencana.

Walaupun telah diperoleh kemajuan dalam hal perlawanan terhadap kemiskinan, masih banyak yang harus dilakukan dan ide-ide inovatif sangatlah penting. Saya di sini untuk melihat cara UNICEF memperluas sumber daya yang terbatas dan memastikan kami membelanjakan dana kami di area yang akan memberikan dampak terbesar. Lebih jauh lagi, bagaimana saya dapat menginspirasi orang-orang di tempat asal saya untuk mempercayai pentingnya yang terjadi di belahan bumi lainnya, bagi mereka dan masa depan mereka?

Rencana perjalanan minggu ini terdiri dari 11-jam presentasi konferensi pers yang akan dilakukan dalam beberapa hari, dari staf lokal UNICEF dan kunjungan ke lapangan dan rekanan program kegiatan. Saya sungguh menantikan kesempatan untuk terlibat secara langsung dengan kegiatan yang dilakukan oleh UNICEF. Saya ingin kembali dengan membawa pemahaman budaya yang lebih baik dan ide-ide lain tentang cara UNICEF dan NextGen dapat terus memberikan dampak secara dramatis dan membangun masa depan yang lebih stabil untuk generasi muda masa kini.

Karena suhu cukup panas di Indonesia, semoga kami bisa mematangkan beberapa ide.

Monday 16 May 2016

Utamakan Anak-anak: Berinvestasi pada Anak-anak untuk Indonesia Sejahtera

Oleh Gunilla Olsson, Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia


Anak-anak di Indonesia dapat mengalami realitas yang sangat berbeda. Bayangkan seorang anak Jakarta bernama Budi (sebelah kiri di atas infografis), lahir hari ini di daerah kumuh Bantar Gebang. Dengan awal kehidupan yang sehat, ia bisa mendapat usia 5 tahun pada tahun 2020 dan menjadi siswa SMA yang berhasil pada tahun 2030. Grace (di sebelah kanan), seorang anak perempuan muda dari pedesaan Papua akan berusia 13 tahun hari ini dan akan lulus SMA pada tahun 2020. Ia bisa mengepalai sebuah start-up tehnologi ramah lingkungan pada tahun 2030 dan kemudian menjadi salah satu pemimpin negara.

Hal di atas bisa menjadi masa depan dari semakin banyak anak-anak di Indonesia yang makmur dan berpendapatan tinggi pada tahun 2030. Realitas ini memberikan hadiah untuk Indonesia di masa depan berupa banyak guru, pengusaha, dokter, pekerja sosial, insinyur, CEO dan pemimpin agama.

Masa depan Budi dan Grace juga bisa nampak sangat berbeda.

Masa depan yang kita inginkan untuk Indonesia: Nawa Cita dimulai dari anak-anak

"Saat ini kita harus bergerak […] dari konsumsi ke investasi: Investasi pada infrastruktur, investasi pada industri, namun yang lebih penting lagi investasi pada sumber daya manusia, sumber daya paling berharga di abad ke-21” President Joko Widodo[1]
Jika terlahir hari ini di pemukiman kumuh Bantar Gebang, Jakarta, Budi dapat mencapai usia 5 tahun dengan sehat pada tahun 2020 dan menjadi murid sekolah menengah atas yang berhasil pada tahun 2030. Grace, seorang anak perempuan di pedalaman Papua yang berusia 13 tahun hari ini dan lulus sekolah menengah atas pada tahun 2020, bisa memimpin sebuah perusahaan teknologi ramah lingkungan pada tahun 2030, dan suatu saat akan menjadi pemimpin negara.
Ini bisa menjadi masa depan banyak anak-anak di Indonesia sebegai negara yang sejahtera dan berpenghasilan negara berpenghasilan tinggi di tahun 2030. Realita seperti ini akan melahirkan wiraswastawan, dokter, insinyur, guru, CEO, pemimpin agama dan pekerja sosial di Indonesia.

Namun berdasarkan realita yang ada, kemungkinan hal itu terwujud pada Budi dan Grace bisa sangat jauh berbeda dari gambaran di atas. Keduanya terlahir dari orangtua yang miskin dengan peluang yang rendah untuk keluar dari kemiskinan. Kemungkinan Budi meninggal sebelum berusia 5 tahun adalah satu dibanding dua puluh lima. Ia memiliki risiko  satu berbanding tiga untuk mengalami hambatan pertumbuhan (pendek atau stunting), kondisi yang suatu saat akan mempengaruhi kapasitas otak, keahlian dan prospek penghasilannya di masa depan. Kemungkinan Grace menikah sebelum usia 18 tahun adalah satu dibanding enam, yang kemudian akan menyebabkan ia berhenti sekolah dan menjadi seorang ibu di masa remajanya. Terpaparnya kedua anak tersebut dengan kemiskinan, malnutrisi, kesehatan yang buruk, kualitas pendidikan yang rendah dan kekerasan akan berakibat pada buruknya pertumbuhan tubuh dan otak mereka yang kemudian berdampak pula pada ekonomi Indonesia sekarang dan di masa depan. Dalam konteks peningkatan ketidaksetaraan, semua faktor-faktor ini meningkatkan risiko keterpinggiran mereka secara sosial dan bisa mengancam stabilitas masyarakat Indonesia.

Wednesday 11 May 2016

LPKA Kutoarjo: Ada Karena Setiap Orang Berhak Mendapat Kesempatan Kedua

Oleh: Eva Natalia Pandjaitan, UNICEF Fundraiser

Saat pertama kali mendengar tentang Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), yang terlintas di benak saya adalah jeruji besi dengan anak-anak berwajah murung di dalamnya. Tetapi bayangan itu lenyap setibanya saya di LPKA Kutoarjo, sekitar tiga jam perjalanan dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Pekarangan yang asri dengan aneka bibit tanaman menyambut rombongan UNICEF diiringi sapaan hangat dan penuh kekeluargaan dari Kepala LPKA Kutoarjo yakni Bpk. Husni Setia Budi, Bpk. Deddy Eduar Eka Saputra sebagai Kasi Binadik serta petugas lapas lainnya dan juga Sahabat Kapas yang di wakili oleh ibu Dian Sasmita dan Erry Pratama.

LPKA  Kutoarjo adalah bangunan cagar budaya yang berdiri pada tahun 1838 di masa pemerintahan Hindia-Belanda dan berubah fungsi menjadi LAPAS Anak atau yang sekarang dikenal dengan LPKA. Ada 64 anak lelaki dan tiga anak perempuan yang mendapat pembinaan karena berbagai kasus pelanggaran hukum.

Thursday 28 April 2016

Program Keluarga Harapan Wujudkan Masyarakat Sehat dan Peluang Masa Depan Terbaik untuk Setiap Anak

Oleh: Nuraeni, UNICEF Fundraiser

Pertama kali saya mendengar istilah Program Keluarga Harapan, satu hal yang terlintas di benak saya adalah semangat optimisme. Karenanya saya sangat gembira saat menerima kabar bahwa saya terpilih untuk ikut serta dalam kunjungan lapangan bersama tim UNICEF Indonesia untuk melihat dan mengenal lebih jauh tentang sejumlah program UNICEF di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

Agenda pertama saya di Kabupaten Brebes adalah menghadiri pertemuan di kantor BAPPEDA Kabupaten Brebes untuk bertemu dengan Forum Anak, Forum Pelindung Anak, dan para tenaga profesional untuk Program Keluarga Harapan. Forum anak di Kabupaten Brebes sangat aktif dalam berbagai kegiatan seperti melakukan sosialisasi ke sekolah dan ke masyarakat tentang hak-hak anak atau mengadakan bakti sosial. Forum anak Kabupaten Brebes juga selalu diundang dalam setiap musyawarah perencanaan pembangunan desa untuk menyuarakan pendapat mereka. 


Forum anak, Forum pelindung anak, dan pendamping PKH di Kabupaten Brebes.

Kehadiran program UNICEF di Kabupaten Brebes secara bertahap membantu pemerintah kabupaten melakukan perubahan menjadi kabupaten pelayanan ramah anak. Hal itu diwujudkan dengan inovasi pada 38 puskesmas dengan pelayanan ramah anak yang menyediakan ruangan bermain untuk anak. Dinas sosial Kabupaten Brebes juga telah mempunyai 187 tenaga pendamping profesional untuk anak dan menyediakan program TIARA ( Tekad Ibu dan Anak Sejahtera ) yaitu pelayanan untuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan. Sedangkan dinas kesehatan Kabupaten Brebes telah memiliki sekelompok tenaga kesehatan terlatih untuk PMBA (Pemberian Makanan Bayi dan Anak ) dengan total 720 kader dan 61 bidan desa. Perwujudan pelayanan ramah anak juga sudah diterapkan di 263 sekolah di Kabupaten Brebes untuk mengurangi jumlah siswa yang terpaksa putus sekolah dikarenakan kasus bullying dan juga faktor ekonomi.

Saturday 23 April 2016

“Giving Back” untuk Membangun Koalisi demi Anak Indonesia


"Ini semua tentang memberikan kembali!" ucap Kafin Sulthan, 11 tahun, salah satu dari beberapa selebriti Indonesia yang bergabung untuk membantu meluncurkan kampanye #GiveBackIndonesia. Dukungan untuk anak bisa datang dalam berbagai cara, dan contoh terbaru yang dibicarakan Kafin adalah melalui kolaborasi antara penyanyi dan tokoh masyarakat yang merekam lagu dan video berjudul "Give Back Indonesia."

Lagu dan video ini, diproduksi oleh produser musik Stephen Laurence Harvey, ingin memotivasi penonton untuk memberikan kembali demi meningkatkan kualitas hidup anak-anak di Indonesia. Mr Harvey menyumbangkan rekaman lagu tersebut ke Madam Noor Traavik, istri dari Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, yang kemudian memberikan hak atas lagu dan video ke UNICEF.

"Ini pengalaman yang indah bagi saya, lagu ini adalah tentang memberikan kembali. Menurut saya ini sudah takdir, karena ketika idenya tercetus, semua pihak mendukung, dan semua orang memiliki waktu untuk melakukannya. Jadi pada dasarnya seluruh proses ini adalah takdir dan ini adalah cara saya untuk memberikan kembali, "kata Mr. Harvey pada saat konferensi pers.

"Saya mendorong dan menantang agar semakin banyak seniman muda Indonesia melakukan proyek serupa, dan semakin banyak dermawan bisa menyumbangkan untuk membantu anak-anak di seluruh dunia."

Serah terima berlangsung kemarin di kediaman Duta Besar Norwegia yang dihadiri oleh kerumunan wartawan dan beberapa artis, termasuk Kafin, yang berpartisipasi dalam lagu dan video.

Kolaborasi ini sesuai dengan keyakinan UNICEF bahwa untuk memberikan hasil terbaik untuk anak-anak kita semua harus bekerja sama dan menggabungkan upaya dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta. Sektor swasta memainkan peran penting dalam membantu meningkatkan kualitas hidup anak-anak.

"Kerjasama ini menunjukkan bahwa setiap orang dapat berkontribusi, terlepas dari latar belakang mereka, demi anak-anak Indonesia," kata Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia, Ibu Gunilla Olsson, pada saat konferensi pers. "Ketika saya pergi ke ladang di sekitar kepulauan dan saya pergi ke desa-desa, saya melihat anak-anak dengan harapan dan tekad di mata mereka, meskipun tidak ada guru ataupun dokter di mana mereka tinggal. Dan saya berharap inisiatif ini bisa membantu mereka memiliki lebih banyak guru atau dokter.”

Selain si bintang cilik Kafin, sejumlah penyanyi terkenal lainnya juga menghadiri konferensi pers tersebut, termasuk Joe Taslim, Syaharani, Dira Sugandi, Sandhy Sondoro, Kyla Christie, Reza The Groove dan Brianna Simorangkir.

"Saya benar-benar tersentuh dengan inisiatif ini dan saya akan melakukan apa pun yang saya bisa untuk tetap membantu anak-anak Indonesia," kata Dira Sugandhi. Hal ini disetujui oleh Joe Taslim. "Saya sepenuhnya mendukung Give Back for Indonesia karena sebagai orangtua, saya juga sangat prihatin dengan masa depan anak-anak Indonesia, mereka adalah generasi masa depan kita", ucap sang aktor.

Aktor, atlit dan penyanyi Joe Taslim meminta masyarakat untuk mengangkat tangan mereka dan "Give Back" untuk anak Indonesia.   

Kemitraan antara sektor swasta dan UNICEF bisa saling menguntungkan, menggabungkan nilai Corporate Social Responsibility, meningkatkan profil perusahaan sekaligus meningkatkan kerja UNICEF atas nama anak-anak yang paling rentan di negara ini. Rekaman video ini akan digunakan oleh UNICEF untuk meningkatkan upaya penggalangan dana dan dilengkapi dengan link ke halaman donasi UNICEF untuk mendorong individu, bisnis dan sektor swasta, untuk Give Back kepada anak-anak Indonesia.

Wednesday 20 April 2016

Teknologi RapidProMendukung Pekerjaan UNICEF untuk Memvaksinasi Anak-anak

Oleh Kristi Eaton, Communications and Knowledge Management Officer, UNICEF Indonesia


Lilis gugup. Anak laki-lakinya yang berusia 2 dan 4 tahun sedang bersiap-siap menerima vaksinasi polio, dan dia khawatir mereka mungkin menangis. Mereka merapatkan diri ke Ibu mereka saat ia berbicara di posyandu setempat di Cilincing, sebuah daerah dengan pendapatan rendah di Jakarta Utara, dan berusaha untuk menenangkannya.

Namun demikian, Lilis mengetahui betapa pentingnya vaksinasi.

“Ini sangat penting untuk mereka supaya tidak sakit polio, karena kaki mereka bisa menjadi tidak berfungsi,” katanya.

Indonesia menempati urutan ke enam di dunia dalam jumlah bayi yang tidak divaksinasi atau belum divaksinasi lengkap. Setiap tahun, diperkirakan 700,000 bayi tidak menerima layanan imunisasi. Daerah perkotaan berpendapatan rendah seperti Cilincing terutama sangat beresiko untuk kurang imunisasi, membuat anak-anak rentan terhadap wabah campak, polio, dan diphtheria. UNICEF mendukung pemerintah untuk mengubah situasi ini _ memanfaatkan teknologi komunikasi baru yang memungkinkan pemantauan yang lebih baik dan intervensi yang menargetkan sistem yang gagal berfungsi.

Monday 18 April 2016

Bersama SATAP Meraih Harapan Hidup yang Lebih Baik



Anak lelaki itu serius memperhatikan gurunya yang sedang menunjukkan cara membuat kerajinan dari anyaman bambu. Bersama teman-temannya, ia mencoba menganyam sebuah keranjang seperti arahan gurunya.

“Bagus sekali keranjangmu, Nang, kuncinya sabar dan teliti supaya hasil anyamannya rapi,” kata sang guru kepada anak lelaki bernama Nanang Sujatmiko itu. Nanang duduk di kelas 8 SMPN SATAP Grujugan, Bondowoso

Di kelas, Nanang tampak ceria belajar dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Seusai jam sekolah, ia bergegas pulang ke rumah dan mulai bekerja. Di usia sangat muda, Nanang yang lahir dari keluarga miskin sudah harus menanggung beban hidup keluarga membantu ibunya yang seorang buruh tani, setelah sang ayah meninggal dunia. Tugasnya setiap hari mencari rumput untuk sapi milik tetangga yang menjadi tanggung jawab bapaknya semasa hidup dan kerja tani serabutan lain demi mendapat penghasilan untuk makan sehari-hari.

Kondisi demikian membuat sekolah dengan segala biaya dan kebutuhannya menjadi hal yang tampak tidak terjangkau bagi Nanang dan ibunya. Beruntung di desanya ada Sekolah Satu Atap atau SATAP sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Lokasi sekolah ini bisa dijangkau dengan berjalan kaki sehingga Nanang tidak harus mengeluarkan biaya transportasi.

Monday 4 April 2016

Memberantas Gizi Buruk di Indonesia: ‘Anak-anak saya menangis untuk hidup – bukan mati’


Beberapa bulan yang lalu, si kembar Randy dan Rendy Tabun yang berusia dua tahun tampak rapuh, mengalami penurunan kesadaran dan terlihat sangat kurus. Mereka mengalami kekurangan gizi dan terus berbaring di atas pangkuan ibu mereka, tidak mampu berdiri atau berjalan sendiri.

Seorang perawat di desa mereka, yaitu desa Nitneo di Kabupaten Kupang, mendengar tentang hal tersebut, dan menjadikan kedua anak itu dua pasien pertama sebuah program baru untuk menangani balita sangat kurus.

Di Indonesia, kekurangan gizi yang dialami balita sangat kurus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius. Lebih dari 12 persen adalah balita kurus. Terdapat 1,3 juta balita sangat kurus di Indonesia, sementara 1,6 juta balita masuk kategori kurus (moderat). Dengan angka ini, Indonesia berada pada peringkat ke-empat dunia dalam jumlah balita kurus.

Saturday 26 March 2016

Butuh kematian satu anak untuk mengimunisasi anak berikutnya

Junaedah, Kosir dan anak mereka Mohammad Faqih. "Bayi saya sekarang siap melawan penyakit."

Anak perempuan satu-satunya Junaedah, Soliha, kini seharusnya berusia 5 tahun. Namun seperti terlalu banyak anak-anak di Indonesia, si kecil Soliha meninggal baru 3 bulan yang lalu, akibat penyakit yang seharusnya mudah dicegah.

Meskipun demikian, kematiannya tidak sia-sia. Kejadian ini membantu memacu Junaedah, juga dikenal sebagai Juju, dan suaminya Kosir, untuk mengimunisasi anak termuda dari enam anak mereka, Mohammad Faqih.

Juju mengatakan ia sudah melihat perbedaan antara Mohammad Faqih dan kakak-kakaknya yang tidak diimunisasi.

“Anak-anak saya yang lain kecil dan kurus, berbeda dari anak bungsu saya yang gemuk dan sehat. Dia kebal dan jarang sakit,” kata Juju, yang berasal dari desar Kluwutdi Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia.

Wednesday 23 March 2016

Rani Wijayanti, Kartini Masa Kini


"Banyak yang bisa kita pelajari dari berita di koran ini," kata seorang ibu guru kepada sekelompok siswa yang sedang melihat selembar surat kabar. Guru itu kemudian berjalan ke meja lain dan kembali terlibat percakapan seru dengan diselingi gelak tawa.

Pemandangan itu tampak di SMPN 2 Sekolah Satu Atap (SATAP) Botolinggo, Bondowoso, Jawa Timur dan ibu guru itu bernama Rani Wijayanti. Sosok guru IPS dan TIK ini tidak bisa dilepaskan dari SATAP tempat ia mengabdi selama lima tahun terakhir ini. ‘Mengabdi’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dedikasi Ibu Rani. Meskipun honor yang ia terima setiap bulan sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) sangat minim, hanya di kisaran Rp. 300.000,- saja, Ibu Rani yakin bahwa mengajar adalah sebuah pekerjaan mulia karena ilmu pengetahuan yang ia bagi dan ajarkan kepada para siswa akan menjadi bekal hidup mereka.

Botolinggo adalah daerah terpencil dengan fasilitas publik yang masih minim, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun kondisi itu tidak menghalangi Ibu Rani untuk memenuhi panggilan jiwanya sebagai pendidik. Jarak pulang pergi dari rumah ke sekolah mencapai 50 km dan ia menempuh perjalanan itu dengan angkot sambil menggendong anak dan melanjutkannya dengan menumpang warga atau teman ke lokasi SATAP yang terletak di Dusun Lucu.

Thursday 25 February 2016

VOY Inspire! dengan Dissa Syakina Ahdanisa: Pendiri Deaf Café Fingertalk


Foto: Dissa Syakina Ahdanisa

Saya bertemu Dissa beberapa minggu yang lalu di sebuah acara karir yang diselenggarakan oleh universitas saya di Jepang, Ritsumeikan Asia Pacific University (APU). Dia adalah alumni APU yang diundang untuk berbicara di acara tersebut. Saat ini Dissa bekerja sebagai equity analyst di Credit Suisse Singapore, serta pemilik DeafCafé Fingertalk, kafe pertama di Indonesia di mana semua karyawan tunarungu.

Meskipun usianya baru 25 tahun, dia telah memiliki banyak pengalaman sebagai relawan di berbagai negara. Dia datang ke Jepang pada usia 16 tahun untuk belajar di APU, di mana ia terlibat dalam banyak kegiatan sukarela dan penggalangan dana. Dissa juga pernah bekerja untuk hoshiZora yang merupakan LSM berbasis siswa, dan juga sebuah LSM yang dibentuk orangtuanya yaitu As Sakinah Foundation. Kedua LSM tersebut menyediakan bantuan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu di Indonesia.

Tuesday 9 February 2016

Kecamatan Pertama Yang Meraih Status Deklarasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) di Sumba Timur

Oleh Ita, Fasilitator WASH Kabupaten Sumba Timur

Perwakilan 49 Marga di Kecamatan KAHALI  melakukan Sumpah Adat untuk mempertahankan status SBS.

Katala Hamu Lingu (KAHALI) adalah salah satu dari 22 kecamatan di Sumba Timur yang menjalankan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dan juga kecamatan pertama yang meraih status SBS di Sumba Timur, NTT.

Pada acara deklarasi SBS tersebut, Bapak Thomas Peka Rihi selaku Camat KAHALI mengatakan bahwa “Program Stop Buang Air Besar Sembarangan merupakan kegiatan yang positif dalam mendukung Program Kecamatan KAHALI Berhias, yang menitikberatkan pada keindahan dan kebersihan. Deklarasi yang akan diwarnai sumpah adat ini merupakan janji yang sakral dari masyarakat KAHALI untuk tetap mempertahankan statusnya sebagai Kecamatan bebas buang air besar sembarangan."

Tuesday 26 January 2016

Peluncuran Layanan Terpadu Kesejahteraan Anak dan Keluarga - Mimpi Yang Menjadi Kenyataan

Oleh: Astrid Gonzaga Dionisio, Child Protection Specialist  

Wakil Walikota Tulungagung (keenam dari kanan) dengan Wakil Ketua DPRD (ketiga dari kiri) dan kepala lembaga (dari kiri: Kepala Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana; Kepala Bappeda; Ketua LPA Provinsi Jawa Timur; Kepala Sub-Direktorat Anak Terlantar, Direktorat Kesejahteraan Anak, Kementerian Sosial, Direktur Rumah Sakit Umum; Astrid Dionisio - Child Protection Specialist dan I Made Sutama, Child of Field Office dari UNICEF; Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, dan Sekretaris Pemerintah Daerah Tulungagung. ©UNICEF/2015 /Astrid Dionisio

Ini bukanlah pertama kalinya saya mengunjungi Tulungagung, Jawa Timur. Namun kegembiraan kunjungan kali ini sungguh berbeda. Bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

Pengembangan sistem perlindungan anak sekali lagi merupakan sebuah mimpi besar. Penggambaran sistem tersebut sangat rumit sebelum Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, meluncurkan model pertama layanan kesejahteraan anak dan keluarga terpadu: Unit Layanan Terpadu Perlindungan Sosial Anak Integratif (PSAI). Jalan yang dilalui tidak mulus, dan perjalanan yang ditempuh sangat panjang. Tulungagung merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu daerah utama pengirim buruh migran perempuan.

Pada tahun 2011, UNICEF Indonesia menggunakan pendekatan baru bagi perlindungan anak yang difokuskan pada pengembangan sistem. Sejak saat itu, UNICEF bersama-sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Sosial memulai proses untuk mengembangkan sistem perlindungan anak komprehensif yang secara lokal dikenal sebagai SPA (Sistem Perlindungan Anak).

Thursday 21 January 2016

Virus Inspiratif Kabupaten Klaten: Hari Kedua

Oleh: Femmy, In-House Face To Face UNICEF Surabaya

Baca blog Femmy yang sebelumnya: Hari Pertama

Hari kedua dipusatkan di Dukuh Gajihan, Desa Pandes, Kecamatan Wedi.

Meeting point dilakukan di Dinas Kesehatan Klaten untuk bertemu dengan Mbak Reta yang bertugas menemani kami meninjau.

Tempat pertama yang dituju adalah kantor PKK yang sering disulap menjadi ruang serba guna. Kami kembali bertemu dengan Ibu Sri Budiati selaku bidan desa yang inspirational. Tidak salah memang jika Desa Pandes menjadi desa percontohan nasional karena banyak gebrakan dan program unik yang berjalan sampai sekarang dan didukung oleh semua pihak terkait.

Beberapa hal lain yang ada di Desa Pandes dan Klaten;

  • Sekitar 20 - 30% anak usia di bawah 20 tahun hamil, baik dikarenakan Pernikahan Dini ataupun MBA
  • GPRS (Gerakan Peduli Remaja Sehat) berfungsi untuk mempersiapkan wanita agar nanti ketika menikah dan hamil, tubuhnya dalam keadaan prima. Sehingga anak yang dikandungnya nanti tidak punya resiko terkena gizi buruk / stunting / lainnya.
  • Nenek ternyata punya andil tinggi dalam mensupport ibu memberikan ASI dan Makanan Pendamping (MP ASI)
  • Cafe Baby untuk membantu ibu-ibu yang kerepotan mempersiapkan sarapan di pagi hari. Ini adalah alternatif support untuk para ibu dan tujuannya bukan untuk profit.

Wednesday 20 January 2016

Virus Inspiratif Kabupaten Klaten: Hari Pertama

Oleh: Femmy, In-House Face To Face UNICEF Surabaya

Pada hari Senin, 26 november 2015, saya berangkat dari Stasiun Gubeng Surabaya menuju Stasiun Tugu Yogyakarta bersama dua anggota team In-House Face To Face UNICEF.

Tujuan dari trip ini adalah untuk melihat secara langsung program kerja UNICEF di lapangan, mengenai bagaimana peran UNICEF mampu memberikan dampak pada perubahan perilaku pada masyarakat ke arah yang lebih baik. Dan pada kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk mengunjungi wilayah kabupaten Klaten, Jawa Tengah, untuk melihat program gizi dan perlindungan anak.


Setelah sekitar satu jam perjalanan, tempat pertama yang kami kunjungi adalah kantor BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) kabupaten Klaten untuk berdialog dengan Dinas Kesehatan Klaten, Perangkat Desa Pandes dan juga tim kesehatan UNICEF Surabaya.

Monday 18 January 2016

Ketidakhadiran Siswa di Papua

Oleh: Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 

Teo menghadapi masa depan yang tidak pasti. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Waktu itu hari Senin pukul 8 pagi di kampung Poumako Papua. Ketika lonceng berbunyi, kelompok anak-anak berdatangan dari rumah mereka dan mulai berjalan menuju kelas. Tetapi Teo tidak – anak yang berusia sembilan tahun tersebut tidak pergi ke sekolah hari itu. Ia jarang pergi ke sekolah.

Kisah Teo merupakan kisah umum yang terjadi di sekitar kampungnya dan di seluruh provinsi. Daerah ini merupakan salah satu daerah termiskin dan paling terisolasi di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari  besarnya jumlah anak yang putus sekolah untuk membantu menghidupi keluarga mereka. Anak-anak di sini lebih mengenal palu dan sekop daripada pensil dan buku.

"Kadang-kadang saya bekerja di pelabuhan," kata Teo. Ada pelabuhan besar beberapa kilometer dari kampungnya yang melayani daerah tersebut. Anak-anak seperti Teo bisa memperoleh sedikit tambahan rupiah melalui bongkar muat barang ke kapal-kapal yang berlabuh di sana. "Saya mengangkut barang-barang seperti perabot, semen dan beras," katanya, "Barang-barang ini biasanya beratnya 15-25 kilogram."

Friday 15 January 2016

“Nama Saya Kristopher” - Belajar Membaca dan Menulis di Papua.

Oleh: Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 

Kemampuan membaca dan menulis Kristopher mengalami kemajuan. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Sekelompok siswa sekolah dasar di Kampung Poumako, Papua diminta untuk menulis nama mereka. Sepertinya mudah. Beberapa siswa mengeluarkan pena dan perlahan-lahan mulai menulis. Tetapi beberapa siswa merasa hampir tidak mungkin melakukannya.

Kristopher, siswa kelas dua ini, merupakan salah satu anak yang berjuang keras untuk bisa membaca dan menulis. Ia meluangkan waktunya, mencoba berkali-kali dan kemudian berhenti. "Sulit," katanya.

Kristopher seperti banyak siswa muda di Tanah Papua. Sekitar 87 persen siswa kelas awal di daerah perdesaan dan terpencil merupakan gabungan antara siswa yang tidak bisa membaca dan siswa yang bisa membaca tetapi dengan pemahaman yang terbatas.

Dan untuk anak-anak seperti Kristopher - tidak memiliki keterampilan dasar ini akan sangat berdampak terhadap sisa hidup mereka.

Monday 11 January 2016

Kotbah Tentang Buang Air Besar Sembarangan di Sumba

Oleh Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Pendeta Charles Detha mendidik penduduk desa tentang topik yang tidak nyaman untuk dibicarakan. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Seorang pendeta setempat di desa Kadahang, Sumba (NTT) akan menyampaikan khotbah yang paling sulit, yaitu tentang buang air besar. Hari ini, Pendeta Charles Detha tidak akan berbicara kepada jemaatnya tentang kesucian atau amal. Tetapi, ia akan berbicara tentang buang air besar.

Indonesia berada dalam cengkeraman krisis buang air besar sembarangan. Lebih dari 51 juta orang tidak menggunakan toilet. Angka ini merupakan angka tertinggi kedua di dunia setelah India. Pengaruhnya terhadap masyarakat dan terutama terhadap anak-anak sangat luar biasa. Praktek tersebut menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.

Pulau Sumba sangat dipengaruhi oleh krisis ini. Dan isu dalam skala tersebut memerlukan solusi inovatif. Oleh karena itu, UNICEF bekerja secara langsung dengan para tokoh agama di daerah yang sangat taat ini untuk membantu menyampaikan pesan.

"Sekarang kami tahu bahwa buang air besar sembarangan berbahaya bagi kesehatan anak-anak," kata Pendeta Charles, yang telah mengikuti program-program yang difasilitasi oleh UNICEF dengan tujuan untuk mengakhiri buang air besar sembarangan. "Buang air besar sembarangan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, kami harus terlibat, kami harus bicara."

Monday 4 January 2016

Membangun Toilet, Menyelamatkan Kehidupan

Oleh Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Masa Depan Vikensa Hamakonda sedikit lebih cerah. ©UNICEF Indonesia/2015/NickBaker

Vikensa Hamakonda, anak usia sepuluh bulan melihat tambahan ruangan baru untuk rumah keluarganya dengan penuh keingintahuan. Tambahan ruangan baru tersebut adalah toilet di luar rumah yang dibuat dari bambu dan seng. Akan tetapi, bangunan sederhana ini mungkin akan dapat menyelamatkan hidup Vikensa.

Di Pulau Sumba (NTT), buang air besar sembarangan merupakan praktek yang telah diterima oleh  sebagian besar orang. Banyak orang tidak mengetahui bahwa buang air besar sembarangan membahayakan kehidupan anak-anak di Indonesia.

Patogen dari kotoran di tempat terbuka dapat dengan mudah masuk ke rantai makanan dan air konsumsi masyarakat. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, yang secara khusus mempengaruhi anak-anak.

Di Sumba, ada banyak cerita tentang anak-anak yang meninggal karena diare – yang mungkin disebabkan oleh sanitasi buruk. Buruknya sanitasi juga berdampak pada pertumbuhan anak-anak karena terkait dengan tingginya angka gizi kurang.

UNICEF mendukung sejumlah program untuk mengakhiri buang air besar sembarangan di Sumba. Salah satu program tersebut adalah membantu petugas kesehatan setempat untuk mengadakan "sesi pemicuan". Sesi pemicu merupakan sebuah proses merubah perilaku sanitasi dan hygiene masyarakat di setiap desa. Sesi tersebut melibatkan demonstrasi dramatis tentang bagaimana kotoran di tempat terbuka dapat menyebabkan anak sakit.

Belakangan ini, sesi pemicu diadakan di desa Vikensa. Ayah Vikensa, Letu, mengikuti sesi tersebut. "Ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa," katanya." Saya belajar bagaimana kuman dari kotoran dari luar rumah bisa hinggap di makanan keluarga saya." Pesan terakhirnya sederhana: bangun dan gunakan toilet.

Program ini menimbulkan dampak berkelanjutan terhadap Letu. Sebelumnya, keluarga Letu buang air besar di area terbuka di belakang rumah mereka. Tetapi sekarang tidak lagi. Letu sudah membangun toilet. Dan banyak penduduk desa lainnya melakukan hal yang sama.

Ini berarti anak-anak seperti Vikensa akan terbantu dalam memperoleh awal kehidupan  yang terbaik bagi mereka.