Annual Report

Tuesday 26 January 2016

Peluncuran Layanan Terpadu Kesejahteraan Anak dan Keluarga - Mimpi Yang Menjadi Kenyataan

Oleh: Astrid Gonzaga Dionisio, Child Protection Specialist  

Wakil Walikota Tulungagung (keenam dari kanan) dengan Wakil Ketua DPRD (ketiga dari kiri) dan kepala lembaga (dari kiri: Kepala Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana; Kepala Bappeda; Ketua LPA Provinsi Jawa Timur; Kepala Sub-Direktorat Anak Terlantar, Direktorat Kesejahteraan Anak, Kementerian Sosial, Direktur Rumah Sakit Umum; Astrid Dionisio - Child Protection Specialist dan I Made Sutama, Child of Field Office dari UNICEF; Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, dan Sekretaris Pemerintah Daerah Tulungagung. ©UNICEF/2015 /Astrid Dionisio

Ini bukanlah pertama kalinya saya mengunjungi Tulungagung, Jawa Timur. Namun kegembiraan kunjungan kali ini sungguh berbeda. Bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

Pengembangan sistem perlindungan anak sekali lagi merupakan sebuah mimpi besar. Penggambaran sistem tersebut sangat rumit sebelum Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, meluncurkan model pertama layanan kesejahteraan anak dan keluarga terpadu: Unit Layanan Terpadu Perlindungan Sosial Anak Integratif (PSAI). Jalan yang dilalui tidak mulus, dan perjalanan yang ditempuh sangat panjang. Tulungagung merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu daerah utama pengirim buruh migran perempuan.

Pada tahun 2011, UNICEF Indonesia menggunakan pendekatan baru bagi perlindungan anak yang difokuskan pada pengembangan sistem. Sejak saat itu, UNICEF bersama-sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Sosial memulai proses untuk mengembangkan sistem perlindungan anak komprehensif yang secara lokal dikenal sebagai SPA (Sistem Perlindungan Anak).

Thursday 21 January 2016

Virus Inspiratif Kabupaten Klaten: Hari Kedua

Oleh: Femmy, In-House Face To Face UNICEF Surabaya

Baca blog Femmy yang sebelumnya: Hari Pertama

Hari kedua dipusatkan di Dukuh Gajihan, Desa Pandes, Kecamatan Wedi.

Meeting point dilakukan di Dinas Kesehatan Klaten untuk bertemu dengan Mbak Reta yang bertugas menemani kami meninjau.

Tempat pertama yang dituju adalah kantor PKK yang sering disulap menjadi ruang serba guna. Kami kembali bertemu dengan Ibu Sri Budiati selaku bidan desa yang inspirational. Tidak salah memang jika Desa Pandes menjadi desa percontohan nasional karena banyak gebrakan dan program unik yang berjalan sampai sekarang dan didukung oleh semua pihak terkait.

Beberapa hal lain yang ada di Desa Pandes dan Klaten;

  • Sekitar 20 - 30% anak usia di bawah 20 tahun hamil, baik dikarenakan Pernikahan Dini ataupun MBA
  • GPRS (Gerakan Peduli Remaja Sehat) berfungsi untuk mempersiapkan wanita agar nanti ketika menikah dan hamil, tubuhnya dalam keadaan prima. Sehingga anak yang dikandungnya nanti tidak punya resiko terkena gizi buruk / stunting / lainnya.
  • Nenek ternyata punya andil tinggi dalam mensupport ibu memberikan ASI dan Makanan Pendamping (MP ASI)
  • Cafe Baby untuk membantu ibu-ibu yang kerepotan mempersiapkan sarapan di pagi hari. Ini adalah alternatif support untuk para ibu dan tujuannya bukan untuk profit.

Wednesday 20 January 2016

Virus Inspiratif Kabupaten Klaten: Hari Pertama

Oleh: Femmy, In-House Face To Face UNICEF Surabaya

Pada hari Senin, 26 november 2015, saya berangkat dari Stasiun Gubeng Surabaya menuju Stasiun Tugu Yogyakarta bersama dua anggota team In-House Face To Face UNICEF.

Tujuan dari trip ini adalah untuk melihat secara langsung program kerja UNICEF di lapangan, mengenai bagaimana peran UNICEF mampu memberikan dampak pada perubahan perilaku pada masyarakat ke arah yang lebih baik. Dan pada kesempatan kali ini kami berkesempatan untuk mengunjungi wilayah kabupaten Klaten, Jawa Tengah, untuk melihat program gizi dan perlindungan anak.


Setelah sekitar satu jam perjalanan, tempat pertama yang kami kunjungi adalah kantor BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) kabupaten Klaten untuk berdialog dengan Dinas Kesehatan Klaten, Perangkat Desa Pandes dan juga tim kesehatan UNICEF Surabaya.

Monday 18 January 2016

Ketidakhadiran Siswa di Papua

Oleh: Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 

Teo menghadapi masa depan yang tidak pasti. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Waktu itu hari Senin pukul 8 pagi di kampung Poumako Papua. Ketika lonceng berbunyi, kelompok anak-anak berdatangan dari rumah mereka dan mulai berjalan menuju kelas. Tetapi Teo tidak – anak yang berusia sembilan tahun tersebut tidak pergi ke sekolah hari itu. Ia jarang pergi ke sekolah.

Kisah Teo merupakan kisah umum yang terjadi di sekitar kampungnya dan di seluruh provinsi. Daerah ini merupakan salah satu daerah termiskin dan paling terisolasi di Indonesia. Kondisi ini dapat dilihat dari  besarnya jumlah anak yang putus sekolah untuk membantu menghidupi keluarga mereka. Anak-anak di sini lebih mengenal palu dan sekop daripada pensil dan buku.

"Kadang-kadang saya bekerja di pelabuhan," kata Teo. Ada pelabuhan besar beberapa kilometer dari kampungnya yang melayani daerah tersebut. Anak-anak seperti Teo bisa memperoleh sedikit tambahan rupiah melalui bongkar muat barang ke kapal-kapal yang berlabuh di sana. "Saya mengangkut barang-barang seperti perabot, semen dan beras," katanya, "Barang-barang ini biasanya beratnya 15-25 kilogram."

Friday 15 January 2016

“Nama Saya Kristopher” - Belajar Membaca dan Menulis di Papua.

Oleh: Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer 

Kemampuan membaca dan menulis Kristopher mengalami kemajuan. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Sekelompok siswa sekolah dasar di Kampung Poumako, Papua diminta untuk menulis nama mereka. Sepertinya mudah. Beberapa siswa mengeluarkan pena dan perlahan-lahan mulai menulis. Tetapi beberapa siswa merasa hampir tidak mungkin melakukannya.

Kristopher, siswa kelas dua ini, merupakan salah satu anak yang berjuang keras untuk bisa membaca dan menulis. Ia meluangkan waktunya, mencoba berkali-kali dan kemudian berhenti. "Sulit," katanya.

Kristopher seperti banyak siswa muda di Tanah Papua. Sekitar 87 persen siswa kelas awal di daerah perdesaan dan terpencil merupakan gabungan antara siswa yang tidak bisa membaca dan siswa yang bisa membaca tetapi dengan pemahaman yang terbatas.

Dan untuk anak-anak seperti Kristopher - tidak memiliki keterampilan dasar ini akan sangat berdampak terhadap sisa hidup mereka.

Monday 11 January 2016

Kotbah Tentang Buang Air Besar Sembarangan di Sumba

Oleh Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Pendeta Charles Detha mendidik penduduk desa tentang topik yang tidak nyaman untuk dibicarakan. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Seorang pendeta setempat di desa Kadahang, Sumba (NTT) akan menyampaikan khotbah yang paling sulit, yaitu tentang buang air besar. Hari ini, Pendeta Charles Detha tidak akan berbicara kepada jemaatnya tentang kesucian atau amal. Tetapi, ia akan berbicara tentang buang air besar.

Indonesia berada dalam cengkeraman krisis buang air besar sembarangan. Lebih dari 51 juta orang tidak menggunakan toilet. Angka ini merupakan angka tertinggi kedua di dunia setelah India. Pengaruhnya terhadap masyarakat dan terutama terhadap anak-anak sangat luar biasa. Praktek tersebut menimbulkan berbagai gangguan kesehatan.

Pulau Sumba sangat dipengaruhi oleh krisis ini. Dan isu dalam skala tersebut memerlukan solusi inovatif. Oleh karena itu, UNICEF bekerja secara langsung dengan para tokoh agama di daerah yang sangat taat ini untuk membantu menyampaikan pesan.

"Sekarang kami tahu bahwa buang air besar sembarangan berbahaya bagi kesehatan anak-anak," kata Pendeta Charles, yang telah mengikuti program-program yang difasilitasi oleh UNICEF dengan tujuan untuk mengakhiri buang air besar sembarangan. "Buang air besar sembarangan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, kami harus terlibat, kami harus bicara."

Monday 4 January 2016

Membangun Toilet, Menyelamatkan Kehidupan

Oleh Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Masa Depan Vikensa Hamakonda sedikit lebih cerah. ©UNICEF Indonesia/2015/NickBaker

Vikensa Hamakonda, anak usia sepuluh bulan melihat tambahan ruangan baru untuk rumah keluarganya dengan penuh keingintahuan. Tambahan ruangan baru tersebut adalah toilet di luar rumah yang dibuat dari bambu dan seng. Akan tetapi, bangunan sederhana ini mungkin akan dapat menyelamatkan hidup Vikensa.

Di Pulau Sumba (NTT), buang air besar sembarangan merupakan praktek yang telah diterima oleh  sebagian besar orang. Banyak orang tidak mengetahui bahwa buang air besar sembarangan membahayakan kehidupan anak-anak di Indonesia.

Patogen dari kotoran di tempat terbuka dapat dengan mudah masuk ke rantai makanan dan air konsumsi masyarakat. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, yang secara khusus mempengaruhi anak-anak.

Di Sumba, ada banyak cerita tentang anak-anak yang meninggal karena diare – yang mungkin disebabkan oleh sanitasi buruk. Buruknya sanitasi juga berdampak pada pertumbuhan anak-anak karena terkait dengan tingginya angka gizi kurang.

UNICEF mendukung sejumlah program untuk mengakhiri buang air besar sembarangan di Sumba. Salah satu program tersebut adalah membantu petugas kesehatan setempat untuk mengadakan "sesi pemicuan". Sesi pemicu merupakan sebuah proses merubah perilaku sanitasi dan hygiene masyarakat di setiap desa. Sesi tersebut melibatkan demonstrasi dramatis tentang bagaimana kotoran di tempat terbuka dapat menyebabkan anak sakit.

Belakangan ini, sesi pemicu diadakan di desa Vikensa. Ayah Vikensa, Letu, mengikuti sesi tersebut. "Ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa," katanya." Saya belajar bagaimana kuman dari kotoran dari luar rumah bisa hinggap di makanan keluarga saya." Pesan terakhirnya sederhana: bangun dan gunakan toilet.

Program ini menimbulkan dampak berkelanjutan terhadap Letu. Sebelumnya, keluarga Letu buang air besar di area terbuka di belakang rumah mereka. Tetapi sekarang tidak lagi. Letu sudah membangun toilet. Dan banyak penduduk desa lainnya melakukan hal yang sama.

Ini berarti anak-anak seperti Vikensa akan terbantu dalam memperoleh awal kehidupan  yang terbaik bagi mereka.