Annual Report

Saturday 26 March 2016

Butuh kematian satu anak untuk mengimunisasi anak berikutnya

Junaedah, Kosir dan anak mereka Mohammad Faqih. "Bayi saya sekarang siap melawan penyakit."

Anak perempuan satu-satunya Junaedah, Soliha, kini seharusnya berusia 5 tahun. Namun seperti terlalu banyak anak-anak di Indonesia, si kecil Soliha meninggal baru 3 bulan yang lalu, akibat penyakit yang seharusnya mudah dicegah.

Meskipun demikian, kematiannya tidak sia-sia. Kejadian ini membantu memacu Junaedah, juga dikenal sebagai Juju, dan suaminya Kosir, untuk mengimunisasi anak termuda dari enam anak mereka, Mohammad Faqih.

Juju mengatakan ia sudah melihat perbedaan antara Mohammad Faqih dan kakak-kakaknya yang tidak diimunisasi.

“Anak-anak saya yang lain kecil dan kurus, berbeda dari anak bungsu saya yang gemuk dan sehat. Dia kebal dan jarang sakit,” kata Juju, yang berasal dari desar Kluwutdi Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia.

Wednesday 23 March 2016

Rani Wijayanti, Kartini Masa Kini


"Banyak yang bisa kita pelajari dari berita di koran ini," kata seorang ibu guru kepada sekelompok siswa yang sedang melihat selembar surat kabar. Guru itu kemudian berjalan ke meja lain dan kembali terlibat percakapan seru dengan diselingi gelak tawa.

Pemandangan itu tampak di SMPN 2 Sekolah Satu Atap (SATAP) Botolinggo, Bondowoso, Jawa Timur dan ibu guru itu bernama Rani Wijayanti. Sosok guru IPS dan TIK ini tidak bisa dilepaskan dari SATAP tempat ia mengabdi selama lima tahun terakhir ini. ‘Mengabdi’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dedikasi Ibu Rani. Meskipun honor yang ia terima setiap bulan sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) sangat minim, hanya di kisaran Rp. 300.000,- saja, Ibu Rani yakin bahwa mengajar adalah sebuah pekerjaan mulia karena ilmu pengetahuan yang ia bagi dan ajarkan kepada para siswa akan menjadi bekal hidup mereka.

Botolinggo adalah daerah terpencil dengan fasilitas publik yang masih minim, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun kondisi itu tidak menghalangi Ibu Rani untuk memenuhi panggilan jiwanya sebagai pendidik. Jarak pulang pergi dari rumah ke sekolah mencapai 50 km dan ia menempuh perjalanan itu dengan angkot sambil menggendong anak dan melanjutkannya dengan menumpang warga atau teman ke lokasi SATAP yang terletak di Dusun Lucu.