Annual Report

Wednesday 23 March 2016

Rani Wijayanti, Kartini Masa Kini


"Banyak yang bisa kita pelajari dari berita di koran ini," kata seorang ibu guru kepada sekelompok siswa yang sedang melihat selembar surat kabar. Guru itu kemudian berjalan ke meja lain dan kembali terlibat percakapan seru dengan diselingi gelak tawa.

Pemandangan itu tampak di SMPN 2 Sekolah Satu Atap (SATAP) Botolinggo, Bondowoso, Jawa Timur dan ibu guru itu bernama Rani Wijayanti. Sosok guru IPS dan TIK ini tidak bisa dilepaskan dari SATAP tempat ia mengabdi selama lima tahun terakhir ini. ‘Mengabdi’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dedikasi Ibu Rani. Meskipun honor yang ia terima setiap bulan sebagai Guru Tidak Tetap (GTT) sangat minim, hanya di kisaran Rp. 300.000,- saja, Ibu Rani yakin bahwa mengajar adalah sebuah pekerjaan mulia karena ilmu pengetahuan yang ia bagi dan ajarkan kepada para siswa akan menjadi bekal hidup mereka.

Botolinggo adalah daerah terpencil dengan fasilitas publik yang masih minim, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun kondisi itu tidak menghalangi Ibu Rani untuk memenuhi panggilan jiwanya sebagai pendidik. Jarak pulang pergi dari rumah ke sekolah mencapai 50 km dan ia menempuh perjalanan itu dengan angkot sambil menggendong anak dan melanjutkannya dengan menumpang warga atau teman ke lokasi SATAP yang terletak di Dusun Lucu.

Rutinitas itu ia lakukan setiap hari bukan tanpa alasan. Lahir dari seorang ibu buta aksara yang bekerja sebagai penyadap getah karet, Rani kecil bercita-cita untuk meraih gelar sarjana agar bisa menjadi guru dan memperkenalkan pendidikan kepada semua orang, agar tidak ada lagi anak bangsa yang buta aksara. Jalan Rani untuk mewujudkan masa depan impiannya sempat tersendat setelah ia dinikahkan selepas SMA. Namun semangatnya tidak surut untuk kembali melanjutkan pendidikan di universitas dan meraih gelar sarjana.

Proses belajar mengajar dengan pendekatan saintifik menggunakan media koran bekas. 

Ibu Rani tidak hanya mengajar, tetapi juga selalu berusaha menciptakan suasana dan kondisi belajar yang layak dan menyenangkan bagi murid-muridnya. Namun sekian tahun sebagai guru, ia merasa tidak banyak yang berubah. Kerja keras Ibu Rani tidak sia-sia karena pada tahun 2014, SATAP Botolinggo terpilih sebagai salah satu sekolah binaan pada Program Penguatan SATAP. Melalui program ini, kapasitas kepala sekolah, tenaga pengajar, dan komite sekolah ditingkatkan melalui pelatihan dan pendampingan oleh pengawas setempat dan fasilitator propinsi.

Sejak saat itu, SATAP yang dicintai Ibu Rani berangsur-angsur mengalami kemajuan membanggakan, termasuk dalam fasilitas seperti penambahan dua ruang kelas baru dan perlengkapan mengajar serta sebuah perpustakaan. Dari program bedah kelas, ruang kelas dibuat bersih, indah dan rapi  dengan berbagai sumber belajar. Ibu Rani kini dapat mengajar dengan pendekatan saintifik menggunakan media yang ada di lingkungan  dan memanfaatkan barang-barang bekas sehingga siswa betah belajar serta prestasi mereka pun meningkat.

Bagi Ibu Rani, perubahan tersebut sangat berarti karena pendidikan adalah lentera yang membuka cakrawala dan mencerahkan pikiran,  sebagaimana pernah dikatakan oleh guru bangsa Ibu Kartini, bahwa jiwa yang menerima pendidikan seperti habis gelap terbitlah terang. Terima kasih Ibu Rani, kau lah sosok Kartini masa kini.