Annual Report

Thursday 26 May 2016

Menemukan inspirasi di lapangan

Oleh Gabé Hirschowitz, Next Generation UNICEF di Los Angeles


Saat meminum air botolan dan menuliskan blog post ini, saya langsung teringat pada anak-anak yang saya temui di Kupang yang berjalan dua kali sehari selama dua jam (sekali di pagi hari sebelum berangkat sekolah, dan sekali di sore hari sepulang sekolah) untuk mengambil air bersih untuk keluarga mereka.

Empat jam setiap harinya. Bagaimana ini terjadi? Bagaimana mungkin ini adil?  Mengapa air minum yang bersih dan aman tidak tersedia untuk anak-anak dan keluarga di seluruh dunia?

Ini hanya beberapa dari banyak hal yang berlarian di pikiran saat saya tersentak memikirkan tentang krisis air dunia yang dihadapi oleh banyak individu di kehidupan sehari-hari. Setiap orang berhak atas air bersih. Sungguh mengejutkan bahwa masih banyak yang tidak mendapatkannya di tahun 2016.

Wednesday 25 May 2016

'Ini adalah perjalanan sekali seumur hidup'

Oleh Kelly Wilson, Ketua, Next Generation UNICEF di Los Angeles


Saya belum pernah pergi ke tempat seperti ini; suatu negara dengan dua dunia yang benar-benar berbeda, dan dua dunia itu tumpang tindih satu di atas yang lainnya, bertabrakan antar ruang dan berebut sumber daya, waktu dan perhatian. Indonesia menghadapi tantangan-tantangan sebagai negara dengan pertumbuhan kota yang cepat dan di saat yang sama masih mencoba memecahkan masalah-masalah terkait negara dunia-ketiga. Yang mengejutkan, tampaknya tidak ada pemisah fisik antara si sangat kaya dan si miskin; daerah kumuh di samping gedung mewah, bangunan terbengkalai di samping pencakar langit yang mentereng, buang air besar di depan monumen pemerintah. Indonesia memiliki PDB ke-16 terbesar di dunia dan negara ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara, namun gelombang itu tidak mengangkat semua perahu, dan Indonesia melempar semua itu tepat ke muka Anda.

Di hari pertama, kami mengunjungi daerah kumuh yang dibangun di atas Tempat Pembuangan Akhir. Tidak ada yang dapat membuat Anda siap menghadapi kebas yang Anda rasakan karena melihat banyak sekali rumah-rumah keluarga dikelilingi oleh sampah, remaja-remaja tanpa sepatu mengetik pada telepon seluler terbaru dan anak-anak kecil menggaruk-garuk kepala karena kutu rambut. Dan saat kau pikir otakmu sudah terlalu penuh, seorang anak berlari ke arahmu dan mencium tanganmu. Berada di antara reruntuhan bangunan dan tumpukan sampah, dia tersenyum. Dia bersama keluarganya, dan dia bahagia. Dengan manis saya teringat pada rasa kemanusiaan yang teguh dari anak-anak dan mengapa mereka berhak menerima tidak kurang dari perlindungan dan dukungan kita, tidak peduli betapa rumit penyelesaiannya.

Monday 23 May 2016

Mengalami langsung kegiatan UNICEF Indonesia

Oleh Casey Rotter, Pendiri Next Generation UNICEF


Untuk saya, melakukan perjalanan dengan UNICEF Indonesia adalah pengalaman yang sangat luar biasa. Tidak hanya luar biasa untuk dapat melihat langsung pekerjaan hebat yang dilakukan UNICEF dan bertemu dengan keluarga-keluarga yang kehidupannya telah diubah -- bahkan diselamatkan -- terima kasih pada organisasi yang hebat ini, tapi hal ini juga istimewa untuk saya sebagai anggota staf untuk menyaksikan anggota-anggota NextGen kami mengalami langsung kegiatan UNICEF untuk pertama kalinya. Melihat pendonor benar-benar menyerap sifat dan kedalaman kegiatan UNICEF dengan berada di lapangan adalah istimewa adanya.  Setelah bertahun-tahun terlibat dalam organisasi, anggota-anggota NextGen yang berdedikasi ini akhirnya dapat memberikan wajah dan nama mereka pada staf yang mereka dukung dan anak-anak yang hidupnya telah diubah oleh usaha pengumpulan dana dan dana pribadi mereka.

Inilah maksud utama kunjungan lapangan para pendonor ini. Tidak peduli seberapa banyak yang kau pikir kau tahu tentang UNICEF, tidak ada yang lebih baik dari bertemu dengan staf yang bekerja di lapangan setiap harinya, menghabiskan hari dengan rekanan pemerintah dan benar-benar memperoleh pemahaman tentang betapa mereka mempercayai dan menghargai kata-kata dan kemitraan UNICEF, mendengarkan advokasi remaja tentang hak-hak rekan-rekannya, dan melihat ke dalam mata seorang ibu saat ia berkata bahwa jika bukan karena dukungan UNICEF untuk Posyandunya, bayi yang tersenyum di gendongannya tidak akan ada di sini hari ini.

Melihat sang ibu menahan air matanya adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kami lupakan, dan adalah sesuatu yang menggerakkan kami agar bekerja lebih baik lagi untuk UNICEF. Untuk semua pengalaman ini, kami selamanya berterima kasih. Jadi, TERIMA KASIH untuk UNICEF Indonesia, rekan UNICEF di negara ini, semua sukarelawan luar biasa yang kami temui dan seluruh keluarga NextGen yang mendukung kegiatan luar biasa ini.

***

Baru-baru ini, sejumlah anggota Next Generation dari Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia untuk melihat lebih dekat bagaimana dana yang mereka bantu kumpulkan untuk Laboratorium Inovasi UNICEF Indonesia membuat perubahan yang berkelanjutan. Berikut ini adalah catatan tentang kegiatan mereka di Indonesia: Part 1, Part 2, Part 3

Friday 20 May 2016

Mengapa UNICEF?

Oleh Leila Ladjevardian, Next Generation di New York 


Next Generation UNICEF adalah suatu kelompok luar biasa yang terdiri dari kaum profesional muda dengan kesempatan yang unik untuk menyumbangkan waktu, dana dan tenaga mereka untuk membantu anak-anak paling rentan di dunia. Saya telah bergabung dengan NextGen selama hampir lima tahun sekarang, dan saat ini saya bertugas sebagai Wakil Ketua New York Steering Committee.

Saya mendedikasikan banyak waktu luang saya untuk tujuan-tujuan dan langkah-langkah melalui penyelenggaraan penggalangan dana, berkontribusi dalam program kegiatan-kegiatan dan merekrut anggota baru. Satu pertanyaan yang sering ditanyakan pada saya adalah, "Mengapa UNICEF?"

Di masa lalu, jawaban saya adalah: "UNICEF adalah organisasi internasional yang menempatkan anak-anak di urutan pertama.  Tidak peduli tentang politik, tidak peduli seberapa mengerikan situasinya -- UNICEF bekerja dengan pemerintahan lokal untuk memastikan anak-anak diperhatikan. Saya adalah generasi pertama orang Iran-Amerika dan menghargai keanggotaan internasional organisasi ini. Sebagai tambahan, ibu saya telah sangat terlibat dalam UNICEF selama bertahun-tahun, yang membuat saya dapat membangun hubungan dengan organisasi ini sejak usia dini."

Thursday 19 May 2016

Bagaimana cara menginspirasi perubahan?

Oleh Bonner Campbell, Next Generation di Los Angeles 

Baru-baru ini, sejumlah anggota Next Generation dari Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia untuk melihat lebih dekat bagaimana dana yang mereka bantu kumpulkan untuk Laboratorium Inovasi UNICEF Indonesia membuat perubahan yang berkelanjutan. Berikut ini adalah laporan orang-pertama tentang kegiatan mereka di Indonesia. 


Hal pertama yang menyentak saya saat mendarat adalah panasnya. Bahkan di malam hari, Jakarta adalah kota yang gerah dengan suhu 80°F (27 derajat Celsius). Saya di sini selama satu minggu dengan anggota NextGen lainnya untuk melakukan kunjungan lapangan untuk program-program kegiatan UNICEF. Indonesia adalah negara pertama tempat diadakannya dua lab inovasi terpisah dari UNICEF: satu di Jakarta, ibu kota negara yang sangat sibuk, dan satu di Kupang, sebuah kota di pulau Timor.

Aku terbujuk oleh konsep sebuah "lab inovasi". Lab-lab inovasi di Indonesia berfokus pada keterlibatan remaja dan pemuda dan juga tanggap darurat. Lab-lab ini melibatkan siswa-siswa dari Global Design for UNICEF Challenge dan mengeksplorasi beragam isu seperti pencatatan kelahiran dan tanggap bencana.

Walaupun telah diperoleh kemajuan dalam hal perlawanan terhadap kemiskinan, masih banyak yang harus dilakukan dan ide-ide inovatif sangatlah penting. Saya di sini untuk melihat cara UNICEF memperluas sumber daya yang terbatas dan memastikan kami membelanjakan dana kami di area yang akan memberikan dampak terbesar. Lebih jauh lagi, bagaimana saya dapat menginspirasi orang-orang di tempat asal saya untuk mempercayai pentingnya yang terjadi di belahan bumi lainnya, bagi mereka dan masa depan mereka?

Rencana perjalanan minggu ini terdiri dari 11-jam presentasi konferensi pers yang akan dilakukan dalam beberapa hari, dari staf lokal UNICEF dan kunjungan ke lapangan dan rekanan program kegiatan. Saya sungguh menantikan kesempatan untuk terlibat secara langsung dengan kegiatan yang dilakukan oleh UNICEF. Saya ingin kembali dengan membawa pemahaman budaya yang lebih baik dan ide-ide lain tentang cara UNICEF dan NextGen dapat terus memberikan dampak secara dramatis dan membangun masa depan yang lebih stabil untuk generasi muda masa kini.

Karena suhu cukup panas di Indonesia, semoga kami bisa mematangkan beberapa ide.

Monday 16 May 2016

Utamakan Anak-anak: Berinvestasi pada Anak-anak untuk Indonesia Sejahtera

Oleh Gunilla Olsson, Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia


Anak-anak di Indonesia dapat mengalami realitas yang sangat berbeda. Bayangkan seorang anak Jakarta bernama Budi (sebelah kiri di atas infografis), lahir hari ini di daerah kumuh Bantar Gebang. Dengan awal kehidupan yang sehat, ia bisa mendapat usia 5 tahun pada tahun 2020 dan menjadi siswa SMA yang berhasil pada tahun 2030. Grace (di sebelah kanan), seorang anak perempuan muda dari pedesaan Papua akan berusia 13 tahun hari ini dan akan lulus SMA pada tahun 2020. Ia bisa mengepalai sebuah start-up tehnologi ramah lingkungan pada tahun 2030 dan kemudian menjadi salah satu pemimpin negara.

Hal di atas bisa menjadi masa depan dari semakin banyak anak-anak di Indonesia yang makmur dan berpendapatan tinggi pada tahun 2030. Realitas ini memberikan hadiah untuk Indonesia di masa depan berupa banyak guru, pengusaha, dokter, pekerja sosial, insinyur, CEO dan pemimpin agama.

Masa depan Budi dan Grace juga bisa nampak sangat berbeda.

Masa depan yang kita inginkan untuk Indonesia: Nawa Cita dimulai dari anak-anak

"Saat ini kita harus bergerak […] dari konsumsi ke investasi: Investasi pada infrastruktur, investasi pada industri, namun yang lebih penting lagi investasi pada sumber daya manusia, sumber daya paling berharga di abad ke-21” President Joko Widodo[1]
Jika terlahir hari ini di pemukiman kumuh Bantar Gebang, Jakarta, Budi dapat mencapai usia 5 tahun dengan sehat pada tahun 2020 dan menjadi murid sekolah menengah atas yang berhasil pada tahun 2030. Grace, seorang anak perempuan di pedalaman Papua yang berusia 13 tahun hari ini dan lulus sekolah menengah atas pada tahun 2020, bisa memimpin sebuah perusahaan teknologi ramah lingkungan pada tahun 2030, dan suatu saat akan menjadi pemimpin negara.
Ini bisa menjadi masa depan banyak anak-anak di Indonesia sebegai negara yang sejahtera dan berpenghasilan negara berpenghasilan tinggi di tahun 2030. Realita seperti ini akan melahirkan wiraswastawan, dokter, insinyur, guru, CEO, pemimpin agama dan pekerja sosial di Indonesia.

Namun berdasarkan realita yang ada, kemungkinan hal itu terwujud pada Budi dan Grace bisa sangat jauh berbeda dari gambaran di atas. Keduanya terlahir dari orangtua yang miskin dengan peluang yang rendah untuk keluar dari kemiskinan. Kemungkinan Budi meninggal sebelum berusia 5 tahun adalah satu dibanding dua puluh lima. Ia memiliki risiko  satu berbanding tiga untuk mengalami hambatan pertumbuhan (pendek atau stunting), kondisi yang suatu saat akan mempengaruhi kapasitas otak, keahlian dan prospek penghasilannya di masa depan. Kemungkinan Grace menikah sebelum usia 18 tahun adalah satu dibanding enam, yang kemudian akan menyebabkan ia berhenti sekolah dan menjadi seorang ibu di masa remajanya. Terpaparnya kedua anak tersebut dengan kemiskinan, malnutrisi, kesehatan yang buruk, kualitas pendidikan yang rendah dan kekerasan akan berakibat pada buruknya pertumbuhan tubuh dan otak mereka yang kemudian berdampak pula pada ekonomi Indonesia sekarang dan di masa depan. Dalam konteks peningkatan ketidaksetaraan, semua faktor-faktor ini meningkatkan risiko keterpinggiran mereka secara sosial dan bisa mengancam stabilitas masyarakat Indonesia.

Wednesday 11 May 2016

LPKA Kutoarjo: Ada Karena Setiap Orang Berhak Mendapat Kesempatan Kedua

Oleh: Eva Natalia Pandjaitan, UNICEF Fundraiser

Saat pertama kali mendengar tentang Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), yang terlintas di benak saya adalah jeruji besi dengan anak-anak berwajah murung di dalamnya. Tetapi bayangan itu lenyap setibanya saya di LPKA Kutoarjo, sekitar tiga jam perjalanan dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.

Pekarangan yang asri dengan aneka bibit tanaman menyambut rombongan UNICEF diiringi sapaan hangat dan penuh kekeluargaan dari Kepala LPKA Kutoarjo yakni Bpk. Husni Setia Budi, Bpk. Deddy Eduar Eka Saputra sebagai Kasi Binadik serta petugas lapas lainnya dan juga Sahabat Kapas yang di wakili oleh ibu Dian Sasmita dan Erry Pratama.

LPKA  Kutoarjo adalah bangunan cagar budaya yang berdiri pada tahun 1838 di masa pemerintahan Hindia-Belanda dan berubah fungsi menjadi LAPAS Anak atau yang sekarang dikenal dengan LPKA. Ada 64 anak lelaki dan tiga anak perempuan yang mendapat pembinaan karena berbagai kasus pelanggaran hukum.