Annual Report

Wednesday 20 December 2017

Obat Gizi untuk Ulang Tahun Pertama Julriska

Oleh: Dinda Veska – PSFR Communication Officer


Julriska (1) Berhasil melewati masa kritisnya akibat kondisi sangat kurus.
@Dinda Veska/UNICEF Indonesia/2017

Beberapa minggu sebelum hari ulang tahun pertamanya, Julriska mengalami demam disertai dengan gatal-gatal di badan dan juga kehilangan nafsu makan. Ketika diperiksakan ke Puskesmas Oelbiteno, Kupang – Nusa Tenggara Timur, dinyatakan oleh petugas kesehatan bahwa Julriska mengalami kondisi sangat kurus, saat itu berat badannya hanya mencapai 7,1 Kg.

Kondisi sangat kurus rentan terjadi pada dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Di usia tersebut kebutuhan gizi sedang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang dan sistem imunitas anak-anak seperti Julriska.

“Saya sangat sedih ketika dijelaskan oleh bidan tentang sakitnya Julriska.” Ungkap Ibu Vonita sambil menyuapi Obat Gizi yang berbentuk pasta kacang kepada anak perempuannya.

Monday 4 December 2017

Di Papua Barat, bidan menjadi kunci menghentikan penyebaran HIV

Oleh Cory Rogers, UNICEF Indonesia Communication Officer


Stevlin menjalani USG di Puskesmas Sorong, Papua Barat.
Sorong: Stevlin, 32, ibu dari lima anak, berbaring di atas dipan pemeriksaan diiringi dengung mesin USG.
Tak lama kemudian, suara detak jantung mengisi ruangan. Stevlin tersenyum lebar: mendengar denyut jantung calon bayi untuk pertama kalinya merupakan pengalaman yang unik.
Untuk pemeriksaan kehamilan itu, Stevlin datang ke Puskesmas Malawei di Sorong, Provinsi Papua Barat.
“Saya harus pastikan kehamilan berjalan lancar agar bayi saya dapat lahir dengan sehat,” katanya. Kedua alisnya bertaut. Pada awal tahun 2000, Stevlin pernah kehilangan seorang anak akibat komplikasi penyakit. Kini, ia bertekad berusaha semampu mungkin untuk memastikan kesehatan sang bayi. Artinya, Stevlin harus mengonsumsi makanan sehat, berolahraga, cukup beristirahat, dan menjalani pemeriksaan kesehatan—terutama HIV.
“Di Papua Barat, risiko HIV 15 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Menjalani tes HIV wajib bagi para ibu mengandung di sini,” kata Beth Nurlely, UNICEF Indonesia Health Officer di Papua Barat. Tanpa pengobatan, 1 dari 3 anak berisiko tertular HIV dari ibu. Namun begitu, di Indonesia, hanya 14 persen ibu yang pernah melakukan tes penting itu.

Monday 27 November 2017

Bilik Jamban untuk Marlende

Oleh: Dinda Veska - PSFR Communication Officer



Marlende (12) di depan bilik toilet rumah. @Dinda Veska/UNICEF Indonesia/2017

Sumba, pulau yang terkenal dengan kekayaan alam, pantai-pantai dengan pasir putih dan bersih, savanna terbentang sepanjang mata memandang. Surga yan gsangat memanjakan untuk para wisatawan, tetapi tidak untuk kesehatan anak-anak yang lahir dan tumbuh besar di pulau ini.


Marlende, satu dari ratusan anak di Desa Redapada yang sejak kecil hingga usia 12 tahun melakukan buang air besar di belakang rumahnya, di tempat terbuka tanpa bilik penutup, lubang penampungan  ataupun air bersih.


Tidak jarang ia mengalami diare, panas tinggi, dan penyakit-penyakit lainnya. Selain Marlende, 7 dari 10 anak yang saya temui di SD Lolaramo - Sumba Barat Daya, mengaku sering mengalami diare sebelum mendapat akses toilet dan air bersih di sekolah. Padahal diare menjadi penyebab 1400 anak di dunia meninggal setiap harinya.

Monday 6 November 2017

Isto, Agen Perubahan Kebersihan Menstruasi

Oleh: Dinda Veska, PSFR Communication Officer

Isto (11) menjadi agen perubahan di sekolahnya untuk melindungi anak-anak perempuan dari ejekan-ejekan soal menstruasi. @Dinda Veska/UNICEF Indonesia/2017


Terik matahari di Sumba Barat daya hari itu cukup menyengat kulit, siswa-siswi SD Lolaramo berlarian ke tengah lapangan dan bersiap untuk berlatih ekstra kurikuler tarian daerah. Mereka berbaris rapih, memberikan senyumnya lebar-lebar kepada para guru.

Di tengah-tengah latihan, seorang anak perempuan terlihat pucat dan meminta izin untuk istirahat sebentar. Isto (11) menawarkan diri untuk menemaninya ke ruang UKS. Mengetahui teman perempuannya sedang mengalami menstruasi, Isto melempar sedikit guyonan sambil jalan berdua menuju ruang UKS. Ia berpikir itu dapat sedikit mengalihkan rasa sakit di perut temannya.

“Menstruasi itu tanda ketika anak perempuan sudah tumbuh dewasa kak! Sebagai anak laki-laki aku harus siap membantu dan tidak boleh mengejek.” Seru Isto ketika di ruang kelas saya bertanya apa itu menstruasi.

Tuesday 17 October 2017

#GirlsTakeOver: Remaja bertindak untuk mengakhiri perkawinan usia anak

By Fadilla Dwianti, Child Protection Officer


21 remaja terpilih yang berasal dari 12 provinsi berpose bersama Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin, Kepala Perlindungan Anak UNICEF Amanda Bissex, dan Direktur Plan International Indonesia Myrna Remata-Evora.©UNICEF/Fadilla Putri/2017 


Bukan hal aneh jika Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia berpidato di Hari Anak Perempuan Internasional.
Kecuali tahun ini, menteri tersebut adalah seorang anak perempuan berusia 19 tahun.

Dimulai dari beberapa hari sebelumnya, 21 remaja berusia 15-19 tahun dari seluruh Indonesia berkumpul untuk Pelatihan Kepemimpinan selama tiga hari yang dilaksanakan oleh Plan Indonesia, UNICEF, Jaringan untuk Remaja Perempuan Indonesia (AKSI) dan Youth Coalition for Girls. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan masalah perkawinan usia anak dan meningkatkan kemampuan mereka dalam bidang komunikasi, advokasi dan kepemimpinan, yang kesemuanya bertujuan untuk mempersiapkan mereka “mengambil alih” Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selama satu hari.

Friday 22 September 2017

RapidPro: senjata rahasia di balik kampanye Campak-Rubella

By Cory Rogers, Communications Officer

Fatul dan Akhsan di Posyandu memamerkan ibu jari ungu yang menandakan seorang anak telah menerima vaksin MR © Cory Rogers / UNICEF / 2017

Semarang:
“Istri saya karyawan pabrik garmen. Jam kerjanya pagi hingga siang, saya bekerja malam,” kata Fathul, warga Regunang—desa teduh yang terbentang naik dan turun di Jawa Tengah. Gunung Merbabu berketinggian 3.145 m perlahan terlihat menjulang dari sela-sela lembah.


“Hari ini, hanya saya yang mengantar.”

Meski menjadi satu-satunya pasangan ayah-anak di halaman Posyandu pada hari itu, Fathul dan putranya yang berusia 3 tahun, Akhsan, tidak nampak jengah. Sama seperti 30 pasang ibu-anak lainnya di sana, mereka datang untuk mendapatkan vaksin Campak dan Rubella (MR)—dua penyakit yang meskipun dapat dicegah, namun bisa menimbulkan dampak fatal bagi anak yang terjangkit. 

“Sakit?” tanya Fathul pada Akhsan yang sedang asyik mengamati sekumpulan anak-anak balita lain—tampak antara takut dan lega—seolah terpukau melihat hiruk-pikuk di sekelilingnya. Menjawab pertanyaan ayahnya, Akhsan hanya menggelengkan kepala. “Dia tidak menangis!” seru Fathul bangga. “Sama sekali tidak!”

Situasi serupa saat ini tengah berlangsung ribuan kali di seluruh Jawa setelah Pemerintah menargetkan 35 juta anak usia 9 bulan hingga 15 tahun mendapatkan imunisasi MR pada akhir September. Tahun depan, 35 juta anak lain di luar Jawa menanti layanan yang sama. Menilik jumlah anak yang menjadi sasaran, kegiatan ini adalah kampanye imunisasi Pemerintah yang terbesar hingga sekarang.

© 2017 Globe Media Lt

Dalam waktu enam pekan sejak kampanye berdurasi dua bulan ini dimulai, sebanyak lebih dari 30 juta anak telah diimunisasi. Tak lama lagi, target penerima vaksin dapat dicapai. Menurut para tenaga kesehatan, perangkat teknologi baru bernama RapidPro—alat pemantauan kesehatan tanpa biaya, berbasis SMS, dan bersifat mobil yang dikembangkan UNICEF—menjadi penentu keberhasilan yang penting. 

“RapidPro membantu kami mendapatkan informasi [cakupan imunisasi] dengan segera, dan masalah dapat langsung terlihat,” kata Ibu Ani, kepala Dinas Kesehatan Semarang—kabupaten tempat Akhsan berada. RapidPro telah diujikan di Jakarta beberapa tahun yang lalu, namun inilah kali pertama perangkat ini digunakan secara meluas hingga tingkat nasional oleh Pemerintah. 

“Teknologi ini sederhana dan mudah digunakan,” lanjut Ibu Ani. “Selain itu cepat dan akurat.”

Seperti apa Peran RapidPro?

Sejak kampanye MR diresmikan pada awal Agustus, RapidPro menyediakan analisis cakupan imunisasi secara langsung di tingkat Puskesmas. Pulau Jawa memiliki 3.617 Puskesmas, dan analisis cakupan belum pernah mencapai tingkat perincian seperti sekarang ini.

Di Puskesmas, terdapat tenaga khusus yang bertugas memeriksa jumlah anak yang sudah diimunisasi dengan cara mengunjungi sekolah di area Puskesmas (pada fase Agustus untuk anak usia 6-15 tahun) atau Posyandu (pada fase September untuk bayi dan balita). Hasil berupa data angka dikirimkan via SMS ke basis data pusat di Jakarta.

Data tersebut—yang bisa ditampilkan berdasarkan hari, pekan, atau bulan—diunggah ke panel utama (dashboard) RapidPro. Pengguna dashboard dapat melihat semacam skor yang menunjukkan provinsi, kabupaten, dan Puskesmas yang memenuhi target imunisasinya. Setiap Puskesmas dan kabupaten memiliki kode tersendiri sehingga masalah yang muncul dapat dengan cepat dipetakan.

Petugas bagian imunisasi Dinas Kesehatan Semarang Ibu Kinanti dan Pak Dijat mencocokkan entri RapidPro dari 26 Puskesmas dengan data yang dikumpulkan secara manual dari lapangan. Proses ini berlangsung bersamaan dengan pengumpulan data lapangan © Cory Rogers / UNICEF / 2017

“Dengan mengetahui data secara terbuka, proses kerja juga menjadi lebih akuntabel. Jika ada unit yang tertinggal, hal ini menjadi lebih mudah diketahui, sampai ke tingkat Puskesmas,” jelas Made Suwancita, pengelola RapidPro dari UNICEF Indonesia. “Dalam hal kampanye MR, pemantauan semacam ini turut mendorong kompetisi sehat antar-pemerintah daerah dan membantu memastikan tidak ada anak yang terlewat.”

Made dan tiga staf lain dari UNICEF juga mengelola layanan aduan dan bantuan Rapidpro; namun, seiring dengan berjalannya kampanye, banyaknya pertanyaan semakin berkurang.

Menurut Susmiyati, koordinator imunisasi di Puskesmas Tangeran, Kabupaten Semarang (satu dari 26 Puskesmas yang berada di bawah Dinas Kesehatan Semarang), “tantangan RapidPro sebetulnya hanya di jaringan yang terkadang tidak stabil. Ada kalanya, SMS sulit terkirim. Selain dari itu, prosesnya cukup jelas dan tidak rumit.”

Susmiyati juga memuji kemampuan RapidPro mengatasi banyak kekurangan yang biasa dijumpai pada sistem kerja manual menggunakan kertas.

Dalam program-program imunisasi terdahulu, data cakupan dicatat secara manual di setiap Puskesmas kemudian dikirim ke tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Proses ini dapat memakan waktu berhari-hari dengan risiko kesalahan yang tinggi. RapidPro menghapus proses yang tidak efisien ini sekaligus menghadirkan tabulasi data secara otomatis.

Dengan RapidPro, administrator dapat memberi tanggapan terhadap masalah dengan segera, kata Ibu Ani dari Dinas Kesehatan Semarang.

Ibu Ani di luar kantornya di Ungaran, Semarang © Cory Rogers / UNICEF / 2017

Satu contoh yang diberikan Ibu Ani adalah ketika salah satu dari 26 Puskesmas di Kabupaten Semarang menunjukkan angka cakupan lebih rendah dari yang diperkirakan. Puskesmas langsung dihubungi dan kendala pun diketahui: separuh orangtua di sebuah pesantren dengan murid 1.000 anak khawatir vaksin MR adalah haram. Akibatnya, mereka tidak mengizinkan anak-anaknya menerima imunisasi.Tidak hanya di Semarang, penolakan semacam ini juga muncul di sejumlah wilayah lain Jawa. Sebagai respon, tokoh agama dan masyarakat menemui para orangtua secara langsung dan menyakinkan mereka bahwa imunisasi tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

“[Berkat RapidPro] saya dapat mengetahui akar masalah dengan segera,” ucap Ani, “dalam waktu 24 jam kami sudah menuju ke sana [ke sekolah]. Dulu, untuk tahu ada masalah saja butuh waktu berminggu-minggu.”

Menjelang akhir kampanye, semakin terasa peran RapidPro membantu para pejabat pemerintah menyelesaikan masalah dan memastikan setiap anak mendapatkan vaksin MR—vaksin yang dapat melindungi anak dari dampak fatal penyakit.

“Di era modern ini kita harus memanfaatkan teknologi informasi agar bisa mendapatkan informasi secara langsung dan tahu jika ada masalah,” tegas Ani.

“Menurut saya, RapidPro bisa digunakan untuk banyak hal lain.”

Bayi dan balita bersama orangtua mereka di Desa Regunang, ceria setelah mendapatkan vaksin MR. Desa ini adalah satu dari ribuan desa lain di Jawa yang menjadi sasaran program imunisasi terbesar Pemerintah hingga saat ini dan dilaksanakan dengan bantuan RapidPro, teknologi kesehatan mobil dari UNICEF © Cory Rogers / UNICEF / 2017



Monday 11 September 2017

Belajar untuk Bermain, Bermain untuk Belajar di Jawa Barat

By Cory Rogers, Communication Officer


Alifah bermain dengan ibu di sekolah.© Cory Rogers / UNICEF / 2017

Bogor: “Di sini, saat mewarnai harus pelan-pelan, karena Alifah suka sekali sampai-sampai tidak mau berhenti,” ujar Neng Selphia, 29 tahun, salah seorang guru di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KB/TK) Aisyayah Baiturrahman, Kecamatan Leuwiliang, Jawa Barat.

Alifah yang pemalu nampak gembira saat tiba pelajaran mewarnai dan menggambar. Dari semua warna, ia mengaku favoritnya adalah warna merah.

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Matahari bersinar terik dan udara lembap terasa panas menyengat. Bersama anak-anak usia empat tahun lainnya, Alifah duduk di lantai menikmati sarapan bubur ayam. Tak jauh darinya, ibu Alifah menunggui sang anak dengan penuh kasih sayang.

Monday 28 August 2017

Menuju Rumah Bebas Asap di Kalimantan

By Cory Rogers, Communication Officer


Bahan-bahan sederhana digunakan untuk menguji keampuhan metode pencegahan asap berbiaya murah bersama mitra di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, salah satu wilayah terdampak kabut asap.© Cory Rogers / UNICEF / 2017


Palangka Raya: Bagi warga Palangka Raya, Kalimantan Tengah, kabut asap begitu mengganggu hingga terkadang sulit menemukan jalan pulang.

“Saya bekerja sebagai nelayan,” kata Ipung. Ayah dua anak bertubuh ramping ini tinggal di tepi Sungai Rungan, sekitar 40 menit ke arah hulu dari Palangka Raya. “Kabut asap mengganggu kehidupan kami; anak-anak tidak bisa bersekolah dan kami semua mengalami batuk.”

Desa Katimpun tempat Ipung tinggal terletak dekat dengan wilayah gambut yang terbakar tiap tahun dan membuat sebagian kawasan Kalimantan—yang masuk wilayah teritorial Indonesia—diselubungi kabut asap. Sejak tahun 2016, UNICEF terlibat mencari cara untuk membantu menjaga anak dan keluarga seperti Ipung aman dari asap berbau itu.

Monday 21 August 2017

Imunisasi untuk Tian dan Mimpi Anak Indonesia

Oleh: Dinda Veska – PSFR Communication Officer

 
Jari kelingking Tian (6) dicoret dengan spidol, pertanda telah mendapat imunisasi Campak dan Rubella. @Dinda Veska/UNICEF Indonesia/2017

Masih terlalu pagi ketika Tian berlari dengan penuh tawa dan riang gembira menuju sekolah yang berjarak satu gang dari rumah. Akhir pekan sebelumnya ibu guru sudah memberi pengumuman bahwa hari ini sekolah akan kedatangan petugas imunisasi.

Kebanyakan anak yang bersekolah di TK Serba Guna, Tegal Sari, Surabaya ini tidak berdaya menghadapi jarum suntik. Saat petugas imunisasi tiba di sekolah, kehebohan dimulai dengan jeritan anak perempuan dan tangisan beberapa anak laki-laki.

Tetapi tidak dengan Tian, ketika Petugas Imunisasi tengah sibuk menyiapkan peralatannya, Tian justru

Monday 7 August 2017

Keadilan untuk Anak-Anak di Banda Aceh

By Cory Rogers, Communication Officer
 

Yudha dari balik jendela pusat layanan social LPKS © Cory Rogers / UNICEF / 2017
Banda Aceh: Yudha, 17 tahun, sedang duduk di sofa bersama pamannya saat polisi datang. Tak ada waktu bagi keduanya untuk menghindar.
“Saya dibawa keluar dan ditanya dari mana saya dapat barangnya,” kata Yudha, tangannya mengorek-ngorek kuku, di sebuah bangunan di Aceh tempatnya ditahan saat ini.


Saat itu, Yudha dan pamannya baru saja selesai menghirup metamfetamina (atau lebih dikenal dengan “sabu-sabu”) dan masih dalam pengaruh obat-obatan. “Saya bilang, saya dapat sabu-sabu dari teman,” lanjut Yudha.
Belakangan, Yudha mengaku membeli sabu sendiri. Kebiasaan sesekali menghirup sabu bermula sejak SMP, namun memburuk setelah orangtuanya bercerai. Ia tidak lagi masuk sekolah, menghindari pulang ke rumah, dan mulai menjadi pengedar—antara lain untuk memenuhi kecanduan yang mulai terbentuk.


Di negara yang dikenal akan hukum narkotika yang keras, Yudha terancam dijebloskan ke dalam penjara, meskipun usianya masih di bawah umur. Walaupun alternatif seperti rehabilitasi sosial mulai sering digunakan dalam beberapa dasawarsa terakhir, namun masih ada ribuan anak di balik jeruji.
Menurut para ahli, dampak pemenjaraan terhadap anak berjangka panjang. Tidak hanya mengganggu perkembangan emosional dan kognitif di kemudian hari, berada di lingkungan penjara yang terlalu penuh, plus jumlah petugas minim, membuat anak rentan mengalami kekerasan.


"Anak-anak yang ditahan dan dipenjara berisiko kehilangan hak terhadap layanan kesehatan dan pendidikan,” kata Ali Ramly, UNICEF Indonesia Child Protection Specialist. "Penjara bukan tempat yang aman, dan setelah anak dilepaskan, kemungkinan ia beralih ke dunia kejahatan sebagai orang dewasa juga meningkat.”

Friday 4 August 2017

Kampanye Nasional Imunisasi Campak-Rubella Dicanangkan

Oleh: Cory Rogers, Communications Officer

Anak-anak bermain di luar sekolah sebelum peluncuran kampanye imunisasi Campak Rubella di Sleman, Yogyakarta. Program imunisasi adalah bagian dari komitmen pemerintah untuk membuat Indonesia bebas Campak dan Rubella pada 2020 © Cory Rogers / UNICEF / 2017


Yogyakarta: Pekan ini di Yogyakarta Pemerintah Indonesia mencanangkan insiatif imunisasi, yang terbesar sejauh ini, dengan target memberikan vaksin campak dan rubella (MR) pada 35 juta anak di Jawa pada akhir bulan. Untuk provinsi-provinsi lain di luar Jawa, kampanye ini ditargetkan menjangkau 35 juta anak pada bulan Agustus dan September 2018.

Peluncuran kampanye yang dilaksanakan di sekolah MTs Negeri 10 Sleman, Yogyakarta, diresmikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo. “Ini namanya menjaga anak,” ujar Presiden Jokowi dalam sambutannya di hadapan ratusan warga yang hadir di sekolah Yaitu membuat anak anak kita tetap sehat. “Dan ini adalah tugas setiap orang tua, dan juga tugas dari negara.



Presiden Jokowi menyempatkan diri duduk di salah satu ruang kelas bersama para murid yang menanti giliran vaksin. Vaksin MR diberikan pemerintah kepada anak antara usia 9 dan 15 tahun tanpa dipungut biaya dan akan dijadikan salah satu rangkaian imunisasi rutin. Pemerintah ingin mencapai tingkat jangkauan 95 persen di akhir September 2018 dan menghapuskan kedua penyakit pada 2020 © Cory Rogers / UNICEF / 2017


Seorang anak perempuan mendapat vaksin MR. Vaksin ini mencegah kedua penyakit dan digunakan oleh lebih dari 141 negara di dunia. Setelah diberikan di sekolah-sekolah pada bulan Agustus, lokasi pemberian vaksin akan berpindah ke tingkat posyandu dan puskesmas pada bulan September © Cory Rogers / UNICEF / 2017
  

Grace Melia, pendiri komunitas daring Rumah Ramah Rubella untuk para orangtua, bicara soal tantangan merawat putrinya, Aubrey, yang terlahir dengan Sindrom Rubella Kongenital (SRK) yang cukup berat. Rubella, yang hanya menimbulkan gejala ringan pada anak-anak dan orang dewasa, dapat berakibat fatal apabila menginfeksi ibu hamil. Penyakit ini dapat mengakibatkan keguguran ataupun SRK yang mengganggu pertumbuhan janin dan menyebabkan cacat jantung bawaan, kerusakan selaput otak, katarak, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan © Cory Rogers / UNICEF / 2017


Dari kiri ke kanan; Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana, Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Budaya Puan Maharani, dan Menteri Kesehatan Nina Moeloek berbincang dengan tiga murid di akhir acara peresmian kampanye. Sebagian besar sekolah di Indonesia setuju untuk memberikan imunisasi. Namun, di sebagian kecil kelompok masyarakat, kekeliruan informasi menyebabkan vaksin dianggap haram, atau dilarang menurut Islam. UNICEF bekerja sama erat dengan Pemerintah untuk menanggulangi mitos yang beredar ini menggunakan strategi penjangkauan dan menonjolkan kalangan Muslim yang secara luas menerima imunisasi © Cory Rogers / UNICEF / 2017

Friday 14 July 2017

Melawan Malnutrisi dengan Perawatan Berbasis Komunitas

oleh Blandina Bait, Pejabat Nutrisi

UNICEF mendukung pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan program nutrisi CMAM © UNICEF / 2017

Alfredo (dua tahun) sudah menderita diare selama dua hari saat ibunya yang khawatir, Yosina, membawanya ke puskesmas di dekat komunitas petani pedesaan di Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Anak laki-laki itu sangat lemah dan terlihat pucat; petugas kesehatan yang menanganinya menyatakan bahwa Alfredo menderita gizi buruk akut (SAM).

"Saya sedih dan kaget saat tahu bahwa Alfredo menderita gizi buruk akut," kata Yosina. Dia lebih khawatir lagi ketika mengetahui bahwa SAM membuat Alfredo lebih rentan terhadap penyakit yang bisa mengakibatkan kematian.

Yosina tidak ragu saat petugas kesehatan memintanya untuk

Roots Day Sebagai Ajang untuk Menanggulangi Perilaku Bullying (Perundungan) di Makassar

Oleh Derry Fahrizal Ulum, Child Protection Officer


Saya dan para siswa selama kegiatan pada Roots Day di salah satu stan foto
© UNICEF Indonesia/Derry Ulum/2017

Makassar: "Saya percaya bahwa berteman dengan semua orang merupakan cara yang baik untuk mengatasi masalah perilaku bullying (perundungan). Ketika kita menunjukkan kepada teman-teman terdekat kita bagaimana berperilaku positif, hal ini akan mempengaruhi semua siswa untuk berubah sama seperti kita".

Pernyataan di atas disampaikan oleh salah satu dari 30 'pembuat perubahan' siswa selama 'Roots Day’ di SMPN 37 di Makassar, sebuah kota pelabuhan daerah di barat daya Pulau Sulawesi di Indonesia. ‘Roots Day’ merupakan puncak kegiatan anti-kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa lainya di sekolah yang diujicobakan oleh UNICEF dengan

Friday 30 June 2017

Ketika remaja melakukan aksi; orang dewasa mendengarkan

Para Remaja di Desa Oeletsala, Kupang. © UNICEF Indonesia/2017/Liz Pick

Ini sunguh-sungguh belum pernah terjadi sebelumnya. Saya tak pernah berpikir bahwa orang dewasa mau mendengarkan ide yang dilontarkan oleh Remaja.

Demikian yang disampaikan oleh Ina seorang gadis berusia 17 tahun yang bermukim di Desa Oeletsala, sebuah desa yang terletak di dekat kota Kupang, Indonesia Bagian Timur. Ina bersama dengan 40 penduduk dari tiga desa lainnya adalah bagian dari program percontohan yang ditujukan untuk membantu remaja belajar mengenali risiko-resiko dalam kehidupan remaja dan mengidentifikasi solusi yang potensial. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan “Lingkaran Remaja”, sebuah pendekatan yang dikembangkan  oleh Kantor Pusat UNICEF.

Lingkaran Remaja” adalah sebuah paket yang berisikan kartu aktivitas dan seperangkat peralatan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Kegiatan ini difasilitasi oleh orang setempat yang memandu sekelompok remaja usia muda untuk melakukan kegiatan yang mendorong terciptanya kerja sama tim, jiwa kepemimpinan, cara berpikir kreatif dan pemecahan masalah. Kelompok remaja ini kemudian menamakan diri mereka sebagai “Lingkar Remaja”. Lingkaran Remaja  telah digunakan di beberapa negara, seperti Sudan Selatan dan Indonesia, untuk membangun kompetensi dan kemampuan remaja, serta sebagai pendekatan psikososial paska terjadinya bencana alam dan konflik.

Di Indonesia, perangkat ini telah dijadikan sebagai percontohan bagi 35 desa untuk memberdayakan kaum remaja guna mempersiapkan dan menanggapi keadaan darurat dan situasi bencana. Melalui dukungan dari mitra pelaksana, yaitu ChildFund dan jaringan lokal dari komunitas organisasi, Lingkar Remaja di Kupang, Ende, Lampung dan Boyolali telah berhasil mengindentifikasi perubahan iklim dan isu lain di masyarakat yang menjadi penyebab terjadinya kekeringan, banjir, kebakaran dan erupsi gunung berapi.

Di Kupang, remaja dari berbagai lingkaran mengidentifikasi ketersediaan air di saat musim kemarau sebagai salah satu masalah yang paling dekat dengan mereka. Remaja dari berbagai lingkaran kemudian mengajukan berbagai solusi yang disesuaikan dengan kebutuhan local di lingkungannya.

“Ketika kami memutuskan untuk fokus kepada isu ketersediaan air, kami kemudian melakukan survei terhadap kaum remaja pada lokasi sumber air untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan. Pada kenyataannya kita semua memiliki masalah yang sama,” ujar Willie seorang remaja yang berusia 15 tahun, yang merupakan anggota dari Lingkar Remaja Desa Oeletsala.  

Kegiatan mengumpulkan air biasanya dilakukan oleh anak-anak yang lebih tua setiap pagi dan malam. Jarak antara sumber air dengan desa membuat anak-anak harus bangun jam 4 pagi untuk memperoleh air bagi keluarganya sebelum berangkat ke sekolah. Mereka sering tiba terlambat di sekolah dan hanya memiliki waktu bermain yang sangat sedikit.

Setelah mempertimbangkan kelayakan dari berbagai ide yang berbeda, seperti tangki saluran air dan truk air, Lingkaran Remaja asal Oeletsala menetapkan pilihan yang mereka ambil yaitu membangun pompa air di pusat desa.

Mereka pun memulai untuk menetapkan kriteria, menggambar diagram dan peta dari area proyek dan menciptakan prototipe sederhana dari kardus guna membentuk visualisasi. Selanjutnya mereka menunjukkan ide tersebut di depan orang tua mereka pada pertemuan tahunan desa.

“Beberapa orang mengatakan kepada kami: ‘Kalian hanyalah anak-anak, apa yang kalian ketahui tentang hal ini? Janganlah mencoba untuk memberikan saran kepada hal yang tidak kalian ketahui sama sekali’,” demikian pengakuan dari cerita Devi seorang remaja berusia 18 tahun. “Namun kami tidak membiarkan hal tersebut mematahkan semangat kami. Bahkan beberapa orang dewasa menghampiri dan mendengar apa yang kami katakan dan memberikan kami kepercayaan diri untuk melanjutkannya.

Ayub Meto, Kepala Desa Oeletsala menyampaikan bahwa ia tidak dapat mengingat kapan terakhir kalinya remaja mengambil peran pada penyelesaian masalah  di desa tersebut sebelum adanya program ini. “Saya sangat terkejut menerima proposal dari remaja melalui orang tua mereka. Saya berkata kepada diri sendiri bahwa mereka ini bukanlah anak kecil lagi. Mereka kini dapat menyampaikan ide mereka dan memikirkan kesejahteraan desa melalui kegiatan lingkar remaja.”

Ia sangat terkesan dengan inisiatif anak-anak tersebut dan bersedia mengalokasikan dana desa untuk merealisasikannya. Rumah pompa telah dibangun di tengah-tengah lokasi dan saat ini pompa ini telah menyediakan kebutuhan air desa untuk minum, mencuci dan bertani tanpa harus menempuh perjalanan jauh.

Hasil yang luar biasa positif telah meyakinkan kepala desa untuk memberikan dana tambahan untuk dua rumah pompa air di tahun ini.

“Saya sangat terdorong untuk mencari tahu potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh remaja di desa. Kita membutuhkan generasi muda seperti ini di desa namun kita cenderung untuk meremehkan ide mereka.”

Pak Meto mengatakan bahwa ia berencana untuk memastikan aspirasi dari remaja tersebut tetap didengar di masa yang akan datang dengan meresmikan keikutsertaan mereka dalam proses  perencanaan desa di jenjang yang berbeda-beda.  Remaja juga dapat berkontribusi melalui pengumpulan informasi dan berpartisipasi di forum pemuda. 

Selain peningkatan ketersediaan dan akses terhadap air, terdapat juga beberapa realisasi yang walaupun masih tergolong sedikit namun manfaatnya tidak kalah penting bagi peserta lingkar remaja. Sebagian anggota kelompok mengatakan bahwa sebelumnya mereka adalah orang yang pemalu namun saat ini telah mendapatkan kepercayaan diri dan mampu mengungkapkan ide mereka.

“Pada sesi ini, kami telah berdiskusi dan belajar tentang bagaimana menghargai satu sama lain dan ide orang lain,” ujar Chris. “Lingkar ini sungguh-sungguh telah memberikan saya keuntungan masa depan karena telah membantu saya untuk menemukan kemampuan saya dan membangun keahlian baru seperti kepemimpinan dan berbicara di depan publik.”

Dewi sependapat bahwa kemampuan yang ia dapatkan di lingkar remaja akan membantunya kelak untuk memulai studi di perkuliahan pada tahun ini.

Sebelumnya saya sangat pemalu, tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa orang-orang mau mendengarkan ide saya, namun sekarang saya tahu bahwa dengan beberapa upaya maka saya dapat mewujudkan ide saya ke dalam sebuah aksi.

Mereka telah menyusun terobosan pada proyek baru yaitu sebuah bus sekolah untuk anak-anak Sekolah Menengah Umum (SMU). Mereka berharap dengan adanya transportasi ini maka kesenjangan jarak tempuh dapat dikurangi dan hal ini akan memungkinkansiswa SMU untuk menyelesaikan studi mereka.

“Saat ini kita telah melihat bahwa sebuah ide diwujudkan ke dalam sebuah realisasi dimana kaum remaja memiliki peran untuk membuat kondisi kehidupan menjadi lebih baik. Sesuatu yang berguna di masa depan.”

Thursday 29 June 2017

Memantau Kualitas Udara: Membidik Masalah Kabut Asap

Oleh: Vania Santoso – Innovations Adolescent and Youth Engagement Officer 


LaserEgg memberi penggunanya pembacaan kualitas udara terkini sehingga mereka dapat melindungi diri dari kabut dan polusi udara lainnya © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santoso

Apa yang akan kita lakukan jika orang yang kita percayai meminta agar tetap berada di rumah karena udara luar berbahaya untuk dihirup?

Bulan Maret lalu, saya berkunjung selama empat hari ke Palangka Raya, Kalimantan—pusat lokasi kebakaran hutan yang mengakibatkan asap di Indonesia—untuk menentukan apakah sistem pemantauan langsung kualitas udara dapat bermanfaat di sana.

Secara khusus, saya ingin menilai minat warga dalam menggunakan alat pemantauan kualitas udara berukuran kecil dan mudah dibawa, seperti LaserEgg. Alat ini dapat memberikan informasi tingkat pencemaran udara dan melindungi kesehatan penggunanya. Hasilnya, saya menemukan bahwa

Friday 16 June 2017

Jalinan Kerjasama BCA dan UNICEF Semakin Erat untuk Anak Indonesia


Bank BCA merupakan mitra korporat UNICEF yang telah bermitra selama lebih dari 17 tahun. Jalinan kerjasama ini semakin erat dan memberikan banyak manfaat bagi Anak Indonesia. Pada akhir April 2017 yang lalu, UNICEF bersama BCA menyelenggarakan kegiatan literasi keuangan dan literasi pola hidup sehat bagi para siswa dan guru. Mereka merupakan penerima manfaat program pendidikan ramah anak di dua sekolah di Sorong, Papua Barat. Rekan-rekan dari BCA juga mengunjungi PAUD berbasis masyarakat di Raja Ampat, Papua Barat.  Kunjungan ini mendapat perhatian dari awak media dan diliput oleh berbagai harian nasional maupun media online, sebagai berikut:

Liputan media nasional:

http://biz.kompas.com/read/2017/06/02/170155628/inilah.manfaat.edukasi.literasi.keuangan.anak.usia.dini
 https://kompas.id/baca/adv_post/pentingnya-edukasi-literasi-keuangan-sejak-dini/
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/17/06/03/oqx1fn368-inilah-manfaat-edukasi-literasi-keuangan-anak-usia-dini

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/922134-inilah-manfaat-edukasi-literasi-keuangan-anak-usia-dini

https://photo.sindonews.com/view/22415/bca-berikan-edukasi-literasi-keuangan-untuk-anak-papua

Liputan media berbahasa inggris:

https://www.pressreader.com/indonesia/the-jakarta-post/20170603/281586650560148

Thursday 8 June 2017

1000 Hari Pertama yang menentukan


 Oleh: Dinda Veska

Rinayah digendong ibunya setelah menangis hampir selama 15 menit ©UNICEF/Dinda Veska/2017
Berjarak satu jam dari kota besar Yogyakarta, seorang anak tidak dapat menjalani hari-harinya dengan ceria seperti anak-anak lainnya. Ia mengalami gizi buruk, sehingga sering kali mudah lelah ketika bermain atau belajar. Sang Ibu menamainya Rinayah, balita berusia 2 tahun ini hanya memiliki berat badan 8 kilogram, masih kurang 3 kilo dari berat badan normal.
Anak-anak seperti Rinayah yang tidak terpenuhi kebutuhan gizinya pada 1000 hari pertama kehidupannya akan mengalami hambatan pertumbuhan.  Kemampuan kognitifnya tidak dapat berkembang secara optimal, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, dan ia mudah sakit. Selain itu Rinayah juga terancam tidak dapat mencapai potensi maksimalnya karena mengalami kekurangan gizi pada periode emas ini.

Monday 5 June 2017

Mengupayakan Keselamatan dari Kabut Asap untuk Anak Indonesia

Oleh: Vania Santoso – Innovations Adolescent and Youth Engagement Officer


Murid berjalan kaki setelah dipulangkan lebih awal dari sekolah akibat kabut asap di Jambi, Provinsi Jambi, Indonesia© Antara Foto/Wahdi Setiawan/Reuters/29 September 2015

Palangkaraya: “Gara-gara asap, saya rasanya tidak pernah mau berada di sini lagi!” kata Gibran, siswa kelas empat di Palangkaraya, Kalimantan Timur.

Berat rasanya mendengarkan Gibran menceritakan kembali hari-harinya saat kabut asap menyelubungi tempat tinggalnya di Kalimantan, peristiwa yang berlangsung berminggu-minggu dan disebut oleh beberapa pihak sebagai bencana lingkungan terburuk. Di desanya, kabut asap begitu parah hingga Gibran

Menolong Jasmine

oleh: Felice Bakker, JPO, Perlindungan Anak

Sebagai bagian dari pendekatan UNICEF Indonesia untuk melakukan pemodelan intervensi yang terukur, saya mendokumentasikan praktek pencatatan kelahiran yang baik di sembilan lokasi percontohan kami di seluruh Indonesia. Dalam kesempatan ini, saya bertemu dengan satu keluarga yang mendapat manfaat dari percontohan UNICEF di Makassar, di mana kemitraan dilakukan dengan LSM lokal untuk mendaftarkan anak-anak yang rentan, termasuk penyandang cacat.

Makassar: Jasmine * adalah seorang ibu yang lumpuh. Begitu juga kedua anaknya yang terkecil. Putrinya yang berusia tiga tahun Nur harus digotong, sementara anak laki-lakinya yang berusia lima tahun, Ali, harus berjalan dengan kaki dan tangannnya.


Selama pemeriksaan sebelum kelahiran di rumah sakit di tahun-tahun sebelumnya, dokter mengatakan kepada Jasmine bahwa

Thursday 1 June 2017

Dengan INFOBIDAN, Memberdayakan Bidan Indonesia

Oleh: Cory Rogers, Communication Officer, UNICEF Indonesia


Dua bidan menunjukkan cara mengakses informasi di situs INFOBIDAN.
website. © Cory Rogers / UNICEF / 2017  

Jawa Timur: “Dengan INFOBIDAN, data ada di tangan kita!” Sri Utami, bidan desa di Jawa Timur, berseru lantang agar suaranya bisa terdengar di antara keriuhan di sekitarnya.

Tak jauh dari tempatnya berada, tujuh perempuan memimpin yel-yel. “INFOBIDAN, yes! INFOBIDAN, yes!” Sorakan mereka hendak menggugah semangat 100 bidan lain yang berkumpul untuk mendaftar sebagai pengguna aplikasi ponsel itu.

INFOBIDAN adalah bentuk teknologi kesehatan nirkabel (mHealth tech) yang diluncurkan UNICEF dan Pemerintah Indonesia pada 2012 untuk memberdayakan bidan. Dengan memanfaatkan