Annual Report

Monday 5 June 2017

Mengupayakan Keselamatan dari Kabut Asap untuk Anak Indonesia

Oleh: Vania Santoso – Innovations Adolescent and Youth Engagement Officer


Murid berjalan kaki setelah dipulangkan lebih awal dari sekolah akibat kabut asap di Jambi, Provinsi Jambi, Indonesia© Antara Foto/Wahdi Setiawan/Reuters/29 September 2015

Palangkaraya: “Gara-gara asap, saya rasanya tidak pernah mau berada di sini lagi!” kata Gibran, siswa kelas empat di Palangkaraya, Kalimantan Timur.

Berat rasanya mendengarkan Gibran menceritakan kembali hari-harinya saat kabut asap menyelubungi tempat tinggalnya di Kalimantan, peristiwa yang berlangsung berminggu-minggu dan disebut oleh beberapa pihak sebagai bencana lingkungan terburuk. Di desanya, kabut asap begitu parah hingga Gibran
dan keluarganya terpaksa pindah. Mereka mengungsi ratusan kilometer jauhnya ke Jawa, tempat mereka tinggal selama sekitar dua bulan bersama nenek Gibran.

Secara sederhana, kabut asap adalah polusi udara yang berbau dan ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Asap tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, emisi gas rumah kaca, dan kematian satwa liar, namun juga mengancam kesehatan pernapasan—terutama pada anak-anak. Masalah kesehatan lain yang mendasar seperti gizi buruk, diare dan malaria, serta imunisasi tak lengkap bisa meningkatkan kerentanan anak-anak. Terlebih, saat kabut asap melanda, sekolah terpaksa ditutup dan pendidikan mereka pun terhalang.

Bersama dengan rekan-rekan dari PulseLab Jakarta, Lody dan Fahmi, saya dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pemerintah Palangkaraya, serta sejumlah mitra lain bekerja sama untuk memahami peristiwa kabut asap dari sudut pandang anak. Tujuannya adalah mencari solusi—baik kebijakan maupun praktis—sebelum musim kemarau tiba dan kebakaran hutan menyebabkan kabut asap kembali. Proses ini sangat menekankan pada kerja sama dan kemitraan, yaitu pendekatan yang mempertemukan calon pengguna solusi dengan pembuat solusi dan keputusan.

Dengan semangat itulah, UNICEF dan para mitra mengembangkan sejumlah cara yang dapat menjawab berbagai aspek persoalan kabut asap, termasuk: komik mengenai cara melindungi diri dari asap dan program yang bisa diikuti oleh relawan dewasa agar anak-anak tetap punya kegiatan meski harus berada di rumah saat terjadi kabut asap. Dengan melibatkan warga untuk ikut membuat dan menguji model-model percobaan ini, kami berharap hasil akhirnya dapat disesuaikan sedekat mungkin dengan kebutuhan lokal agar tingkat keberhasilan pun lebih besar. 


Gibran (tengah) dan temannya, David, turut memberi masukan pada contoh komik buatan PulseLab yang hendak membangun kesadaran tentang asap © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santoso

Dari diskusi kami dengan warga, jelas bahwa risiko kesehatan dan pendidikan yang ditimbulkan asap saling memengaruhi, dan bahwa warga amat menginginkan solusi yang bisa dijalankan.

David, siswa kelas 6 SDN 4 Menteng Palangkaraya, tak bisa lupa saat kabut asap memburuk pada 2015. “Hari itu gelap sekali, termasuk di dalam rumah meski lampu menyala,” katanya. “Saya sulit bernapas dan tidak bisa menemui teman-teman,” tambah David.

“Sekolah tutup. Ini sulit, karena kami hanya diberikan PR untuk dipelajari dan dikerjakan di rumah,” katanya.

Saat kabut asap terjadi, sekolah-sekolah memang diliburkan selama berminggu-minggu.

“Rasanya seperti dipenjara! Rumah saya kecil, anak-anak ingin pergi ke luar, ke sekolah, dan bermain dengan teman-temannya,” ucap Ibu Elok, orangtua murid sekaligus guru salah satu sekolah. “Anak-anak tidak sadar bahaya asap. Mereka tetap pergi meski tanpa izin.”

Menurut kepala sekolah Ibu Ernawati, “Ketika ada kabut asap, anak-anak terpapar dampak kesehatan yang negatif. Nyaris semua anak, termasuk anak saya sendiri, menjadi lebih rentan sakit, sering batuk, bahkan ada yang kemudian memiliki masalah pernapasan kronis.”


Ibu Elok (kiri) dan Ibu Ernawatie memberikan masukan terhadap model contoh kurikulum tanggap bencana dari PulseLab © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santos

Menurut penelitian dari Universitas Columbia dan Harvard, kabut asap 2015 bisa jadi telah menyebabkan kematian lebih dari 100.000 orang—sebagian besar merupakan akibat dari risiko kesehatan sistem pernapasan.

Ibu Ernawati mengatakan ia senang melihat contoh “rumah singgah bebas asap” dari UNICEF dan bersemangat menerapkan kurikulum PulseLab Jakarta mengenai strategi tanggap bencana asap.

“Membangun rumah singgah dengan fasilitas dasar agar anak-anak tetap bisa berkumpul, bermain, dan belajar saat ada kabut asap adalah mimpi saya,” ungkapnya.

Berbagai jenis upaya ini akan mulai diujikan bulan depan oleh UNICEF di Palangkaraya. Diharapkan, beberapa model contoh akan memberikan hasil menjanjikan. Namun, kabut asap adalah permasalahan rumit sehingga dibutuhkan pula kebijakan kuat dan menyeluruh untuk memitigasi dampak bahayanya. Hari Lingkungan Dunia kini diperingati setiap tanggal 5 Juni; inilah saatnya bertindak mencari solusi bagi kabut asap!