Annual Report

Monday 11 September 2017

Belajar untuk Bermain, Bermain untuk Belajar di Jawa Barat

By Cory Rogers, Communication Officer


Alifah bermain dengan ibu di sekolah.© Cory Rogers / UNICEF / 2017

Bogor: “Di sini, saat mewarnai harus pelan-pelan, karena Alifah suka sekali sampai-sampai tidak mau berhenti,” ujar Neng Selphia, 29 tahun, salah seorang guru di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KB/TK) Aisyayah Baiturrahman, Kecamatan Leuwiliang, Jawa Barat.

Alifah yang pemalu nampak gembira saat tiba pelajaran mewarnai dan menggambar. Dari semua warna, ia mengaku favoritnya adalah warna merah.

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi. Matahari bersinar terik dan udara lembap terasa panas menyengat. Bersama anak-anak usia empat tahun lainnya, Alifah duduk di lantai menikmati sarapan bubur ayam. Tak jauh darinya, ibu Alifah menunggui sang anak dengan penuh kasih sayang.

Dengan suara lantang, Neng berusaha mengarahkan anak-anak agar tidak menaiki meja. “Kata apa yang diawali huruf ‘A’?” ia bertanya. Seorang anak, satu-satunya yang menjawab di kelas itu, berseru, “Ayah!”

Hari-hari Neng di kelas sebagian besar diisi dengan kegiatan prakarya, mengajarkan anak-anak menempel kertas menggunakan lem, dan mencegah mereka berjalan-jalan ke luar kelas.

“Kami perlu lebih banyak pelatihan tentang pendekatan terhadap anak yang berbeda-beda perangainya: ada yang mudah kesal, mudah menangis, dan lain-lain,” kata Neng. Rak di belakangnya penuh dengan kertas yang sudah separuh diwarnai serta dua set blok kayu dengan warna yang telah pudar—menanti untuk diganti.

Hanya sedikit lembaga pendidikan prasekolah di Kabupaten Bogor—wilayah dengan tingkat partisipasi prasekolah terendah di Jawa—yang memiliki guru berpendidikan S1. Jumlah ini kian mengerucut untuk KB/TK yang memiliki guru dengan pendidikan sebagai guru prasekolah.

“Kami juga butuh evaluasi [kinerja sebagai guru],” Neng menambahkan.

Program Percobaan untuk PAUD

Sebagai bagian dari program tiga tahun untuk pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD)—inisiatif yang dipimpin UNICEF dan didanai IKEA—Neng dan ratusan guru lain di Bogor akan menerima pelatihan metode ajar berbasis permainan yang disesuaikan dengan usia peserta didik. Dana juga akan diberikan pada sekolah-sekolah untuk meningkatkan mutu perangkat ajar, membeli permainan edukatif, dan memperbaiki kondisi ruang kelas agar lebih aman bagi anak-anak seperti Alifa.

Di Aisyayah Baiturrahman sendiri, dana yang akan diberikan kemungkinan besar hendak dimanfaatkan untuk mengganti atap seng dan memperbaiki dinding yang saat ini dibuat dari bahan triplek yang ringkih. “Kalau didorong anak-anak, dinding bisa jatuh. Saya khawatir anak-anak terluka,” ucap Neng.

Program di atas akan mendukung 100 lembaga PAUD di Kabupaten Bogor dan bertujuan meningkatkan kualitas semua aspek pengajaran, “membantu guru dan orangtua menumbuhkan kemampuan sosial dan kognitif dasar yang dibutuhkan anak untuk mengembangkan potensinya,” kata UNICEF Indonesia Education Officer Meliana Istanto.

Semangat program ini adalah menanamkan pemahaman “bermain sebagai sarana belajar” bagi guru dan orangtua. Sementara, kemampuan baca-tulis sebaiknya diajarkan di tingkat TK, saat otak anak sudah lebih berkembang dan siap menerima pelajaran itu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa menerapkan pendekatan ini untuk PAUD adalah salah satu cara terbaik memastikan setiap anak punya kesempatan setara untuk berprestasi di kemudian hari.

Namun, memperkenalkan pendekatan ini pada orangtua adalah tantangan tersendiri. Menurut Misem Hidaya (pengelola 10 PAUD di Kabupaten Bogor dan bergelar S1 bidang pendidikan usia dini), orangtua justru bingung saat mendapati guru PAUD yang tidak menekankan pelajaran baca-tulis.

“Ada orangtua yang malah merasa biaya yang mereka keluarkan sia-sia,” kata Misem. Biaya yang dimaksudnya adalah SPP senilai sekitar Rp40.000 per bulan yang menunjang biaya operasional sekolah meski tidak besar. “Penting bagi kami [guru] menjelaskan bahwa PAUD berbeda dengan SD—di PAUD, pengajaran disesuaikan dengan usia anak,” katanya.

Pembelajaran sesuai usia berarti anak-anak mengikuti waktu bermain yang terarah serta menitikberatkan pada pengembangan kemampuan motorik dan sosial.

Dalam hal Alifah, Ibu Reni menceritakan bahwa ia melihat betapa kegiatan menggambar dan mewarnai bersama-sama teman sebaya membuat anaknya lebih mandiri.

“Mudah-mudahan, PAUD bisa membuat Alifah lebih pintar dan percaya diri,” tambahnya.

Harapan ini juga yang dimiliki oleh ratusan keluarga yang akan menerima manfaat program pengembangan PAUD di Kabupaten Bogor.

“Saya ingin Alifah punya cita-cita yang lebih tinggi dari saya. Sekarang saja, ia sudah lebih berani.”